BEI Pertimbangkan Delisting Sritex di Tengah Gelombang Penghapusan Saham
Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah mempertimbangkan penghapusan pencatatan saham (delisting) PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), atau yang lebih dikenal dengan Sritex. Langkah ini menyusul suspensi saham perusahaan tekstil tersebut yang telah berlangsung sejak 18 Mei 2021.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menyatakan bahwa Sritex telah memenuhi kriteria untuk delisting berdasarkan Peraturan Bursa Nomor I-N, khususnya ketentuan III.1.3. Suspensi saham yang telah melampaui 24 bulan, ditambah dengan status pailit yang disandang perusahaan, menjadi dasar pertimbangan utama bagi BEI.
"Bursa secara berkelanjutan berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait proses delisting dan perubahan status perusahaan dari terbuka menjadi tertutup (go private), sesuai dengan POJK 45 Tahun 2024," ungkap Nyoman dalam keterangan tertulis.
BEI juga telah meminta klarifikasi kepada kurator Sritex, terutama mengenai kasus hukum yang melibatkan Komisaris Utama sekaligus mantan Direktur Utama perusahaan, Iwan Setiawan Lukminto. Permasalahan keuangan Sritex mulai mencuat ke publik setelah perusahaan mengalami gagal bayar dan menanggung liabilitas sebesar 1,61 miliar dollar AS per akhir September 2024, sebuah angka yang jauh melebihi total aset perusahaan yang tercatat sebesar 594,01 juta dollar AS.
Keadaan semakin diperburuk dengan penetapan Iwan Setiawan Lukminto sebagai tersangka kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung, bersama dengan dua mantan pejabat perbankan, yakni mantan Direktur Utama Bank DKI Zainuddin Mapa dan mantan pimpinan Divisi Korporasi Bank BJB Dicky Syahbandinata. Ketiganya diduga terlibat dalam pemberian kredit bermasalah kepada Sritex.
Gelombang Delisting di BEI
Sritex berpotensi menjadi bagian dari daftar panjang emiten yang akan dihapus dari BEI tahun ini. Sebelumnya, bursa telah mengumumkan rencana delisting terhadap 10 emiten lain yang akan berlaku efektif pada 21 Juli 2025. Daftar tersebut mencakup:
- PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI)
- PT Forza Land Indonesia Tbk (FORZ)
- PT Hanson International Tbk (MYRX)
- PT Grand Kartech Tbk (KRAH)
- PT Cottonindo Ariesta Tbk (KPAS)
- PT Steadfast Marine Tbk (KPAL)
- PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS)
- PT Nipress Tbk (NIPS)
- PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX)
- PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW)
Dari kesepuluh emiten tersebut, delapan di antaranya mengalami pailit. Sementara itu, HDTX dan JKSW dikeluarkan karena menghadapi peristiwa signifikan yang berdampak pada kelangsungan usaha dan telah disuspensi selama lebih dari 24 bulan. Saat ini, baru dua dari sepuluh emiten tersebut yang telah mengumumkan rencana pembelian kembali saham (buyback).
Implikasi bagi Investor
Oktavianus Audi, VP Marketing, Strategy, and Planning Kiwoom Sekuritas, menekankan bahwa investor yang sahamnya terperangkap dalam emiten pailit akan menghadapi kesulitan untuk keluar tanpa adanya rencana keluar (exit plan) dari perusahaan.
"Jika tidak ada exit plan, investor akan mengalami kerugian. Oleh karena itu, BEI dan regulator perlu mengambil langkah preventif," ujarnya.
Audi juga menyoroti pentingnya transparansi informasi agar investor dapat melakukan evaluasi terhadap emiten sejak dini. Senada dengan hal tersebut, CEO Edvisor Provina Visindo, Praska Putrantyo, menyarankan agar para pemangku kepentingan mempertimbangkan pembentukan dana perlindungan investor.
"Publik harus mendapatkan informasi secara dini dan masif jika suatu emiten berpotensi delisting. Investor pemula pun harus lebih berhati-hati dengan mengenali kondisi emiten secara menyeluruh," kata Praska.
Ia juga menekankan pentingnya pemantauan laporan keuangan emiten secara berkala untuk menghindari risiko tersandung kasus seperti PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).