Regulasi Tumpang Tindih Hambat Daya Saing Ekspor Furnitur Indonesia
Ekspor furnitur Indonesia menghadapi tantangan berat dalam bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. Salah satu penyebab utama permasalahan ini adalah kompleksitas dan tumpang tindih regulasi ekspor yang berlaku.
Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menyatakan bahwa pemerintah sedang berupaya untuk menyederhanakan regulasi ekspor. Dialog intensif telah dilakukan dengan berbagai asosiasi furnitur dan kerajinan untuk merumuskan langkah-langkah strategis.
"Kami berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan untuk mengusulkan penghapusan kewajiban V-Legal untuk produk turunan kayu seperti furnitur dan kerajinan. V-Legal tetap diperlukan untuk negara-negara tertentu seperti Inggris dan Uni Eropa, namun untuk pasar lain, kami mengusulkan penghapusan kecuali untuk produk kayu mentah yang rentan terhadap penyelundupan, di mana SVLK tetap diperlukan," ujarnya saat peluncuran IFEX 2026 di Jakarta Pusat.
V-Legal adalah dokumen yang membuktikan legalitas kayu dan menjadi bagian dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Menurut Budi Santoso, penerapan V-Legal pada produk furnitur dianggap tidak perlu karena bahan baku kayu yang digunakan sudah terverifikasi melalui SVLK.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, mengamini bahwa tumpang tindih regulasi ekspor menjadi kendala utama bagi industri furnitur Indonesia.
"Regulasi yang kompleks menghambat daya saing kita. Kita memiliki bahan baku yang melimpah dan sumber daya manusia yang besar. Kunci untuk meningkatkan ekspor adalah deregulasi dan perbaikan regulasi yang tidak efisien, seperti penghapusan V-Legal di hilir," jelasnya.
Selain itu, eksportir furnitur Indonesia juga berupaya memperoleh sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) yang menjamin bahwa bahan baku kayu berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Namun, mereka juga diwajibkan untuk memenuhi standar SVLK, menciptakan beban ganda bagi eksportir.
Abdul Sobur menambahkan, "Seharusnya, SVLK ditingkatkan nilainya agar setara dengan FSC, sehingga tidak ada duplikasi. Saat ini, eksportir harus memenuhi kedua standar tersebut, yaitu FSC dan SVLK yang bersifat wajib."
"Inilah yang menyebabkan kita kalah bersaing dengan Vietnam dan Malaysia. Regulasi yang terlalu banyak dan tumpang tindih menjadi penyebab utama," tegasnya.
Ia meyakini bahwa jika regulasi ekspor disederhanakan, Indonesia memiliki potensi besar untuk bersaing dengan Vietnam dan Malaysia, mengingat sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah.
"Regulasi adalah penghambat utama. Meskipun biaya perbankan juga menjadi pertimbangan, namun hal ini dapat dikompromikan dengan dukungan dari lembaga seperti LPEI," pungkasnya.
Menurut data, pada Januari 2025, Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai negara pengekspor mebel terbesar di Asia, di bawah China, Vietnam, dan Malaysia. Di tingkat global, Indonesia berada di peringkat ke-19.