Pemerintah Berupaya Bebaskan Produk Furnitur Indonesia dari Tarif Tambahan AS
Pemerintah Indonesia tengah berupaya keras untuk menghapuskan kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat (AS) terhadap produk furnitur dan kerajinan asal Indonesia. Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengungkapkan bahwa penghapusan tarif ini akan menjaga daya saing produk furnitur Indonesia di pasar AS.
Saat ini, semua produk furnitur yang diekspor ke AS dikenakan tarif sektoral sebesar 3%. Kekhawatiran muncul ketika wacana pengenaan tarif tambahan (sering disebut tarif Trump) sebesar 32% mengemuka. Jika tarif ini diberlakukan, total tarif yang dikenakan pada produk furnitur Indonesia bisa mencapai 35%. Mendag Budi Santoso menegaskan pentingnya penghapusan tarif resiprokal ini agar produk furnitur Indonesia tetap kompetitif di pasar Amerika.
"Kita minta supaya resiprokal hilang. Kalau hilang berarti kan tetap tiga persen," ujar Budi saat peresmian Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2026. Saat ini, selama 90 hari, produk furnitur hanya dikenakan baseline 10 persen, sehingga total tarif menjadi 13 persen.
Pemerintah terus melakukan negosiasi intensif terkait tarif resiprokal ini. Ekspor furnitur dan kerajinan ke AS memiliki nilai yang signifikan, mencapai 1,64 miliar dolar AS. Penghapusan tarif ini diharapkan dapat meningkatkan volume ekspor dan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama di pasar furnitur global.
Selain berupaya menghapus tarif, pemerintah juga tengah menyusun deregulasi terkait ekspor dan impor. Tujuan dari deregulasi ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha, mendorong ekspor, dan meningkatkan daya saing produk Indonesia, termasuk furnitur dan kerajinan.
Saat ini, Indonesia berada di peringkat ke-20 sebagai negara eksportir furnitur dan kerajinan dengan nilai mencapai 2,43 miliar dolar AS. Pemerintah memiliki ambisi untuk menembus 10 besar eksportir furnitur dan kerajinan dunia. Deregulasi diharapkan menjadi salah satu kunci untuk mencapai target ini.
"Kita itu kan lagi membuat deregulasi, tidak hanya impor, deregulasi ekspor juga kita lakukan, termasuk deregulasi kemudahan berusaha di bidang perdagangan," kata Budi.
Rancangan deregulasi ini melibatkan diskusi antara Kementerian Perdagangan (Kemendag) dengan asosiasi terkait dan Kementerian Kehutanan. Salah satu poin penting dalam deregulasi adalah penghapusan kewajiban dokumen V-Legal atau lisensi ekspor produk kayu untuk produk turunan kayu seperti furnitur dan kerajinan.
Dokumen V-Legal sebaiknya hanya diwajibkan untuk negara-negara yang memang membutuhkannya, seperti negara-negara Uni Eropa. Penghapusan kewajiban ini diharapkan dapat mempermudah proses ekspor, mengurangi birokrasi, dan memangkas persyaratan ekspor.
"Kita sudah mengusulkan, sudah diskusi tapi belum selesai supaya ekspor di luar UK dan Uni Eropa itu sifatnya tidak wajib. Kecuali eksportir menginginkan ya silahkan, tetapi khusus produk furnitur dan kerajinan. Tujuannya apa, agar kita mudah ya, birokrasi kita lebih mudah ekspor, kemudian persyaratan juga mudah," Ujar Budi.