Pemerintah Desak Platform Medsos Perketat Pengawasan Akses Anak: Ancaman Sanksi Menanti

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memberikan ultimatum kepada seluruh platform media sosial untuk segera memperketat pengawasan terhadap akses anak di bawah umur. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan bahwa pemerintah memberikan waktu maksimal dua tahun bagi platform untuk menyesuaikan diri dengan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).

Dalam sosialisasi PP Tunas di SMAN 2 Purwakarta, Jawa Barat, Meutya menyampaikan bahwa implementasi peraturan ini tidak hanya menyasar pengguna, tetapi juga mewajibkan platform digital untuk meningkatkan standar teknologinya. Hal ini dilakukan untuk memastikan anak-anak tidak terpapar konten negatif dan berbahaya yang marak beredar di dunia maya.

"Kami berharap implementasi PP Tunas dapat dilakukan secepat mungkin," ujar Meutya. "Meskipun diberi waktu dua tahun, kami mendorong platform untuk segera berbenah."

Meutya menegaskan bahwa sanksi tegas akan diberlakukan bagi platform yang kedapatan membiarkan anak di bawah umur mengakses platform mereka tanpa batasan yang jelas. Sanksi tersebut berupa denda, dan jika pelanggaran terus berulang, tidak menutup kemungkinan platform tersebut akan diblokir.

"Jika terbukti membiarkan anak di bawah umur mengakses platform mereka, bisa dikenakan denda, dan kalau berulang ya ditutup," tegas Meutya.

Pemerintah menyadari bahwa implementasi PP Tunas membutuhkan kolaborasi aktif antara pemerintah pusat dan daerah. Meutya mengapresiasi inisiatif pemerintah daerah yang telah menunjukkan komitmen kuat dalam melindungi anak-anak dari dampak negatif internet.

"Kalau kepala daerah aktif seperti di Jawa Barat, insya Allah kita bisa lebih cepat. Yang terpenting adalah kombinasi antara regulasi, edukasi, dan teknologi," kata Meutya.

Meutya juga menyoroti pentingnya peran aktif platform media sosial dalam melakukan takedown terhadap konten negatif, seperti pornografi, kekerasan, ujaran kebencian, dan judi online. Ia menilai platform memiliki teknologi yang lebih canggih dan seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas konten-konten berbahaya tersebut.

"Teknologi mereka lebih canggih. Jadi, itu ‘rumah’ mereka, dan mereka yang paling tahu," kata Meutya. "Kalau ada konten negatif, mereka seharusnya yang pertama melakukan takedown."

Meutya menambahkan bahwa takedown bukan hanya soal kepatuhan pada peraturan, tetapi juga merupakan bentuk komitmen platform terhadap keselamatan dan kesehatan digital pengguna di Indonesia, terutama anak-anak dan remaja.

Kementerian Komunikasi dan Informatika sendiri telah melakukan takedown terhadap hampir 1,4 juta situs selama periode kepemimpinannya. Namun, Meutya mengakui bahwa upaya tersebut belum cukup untuk mengatasi penyebaran konten negatif yang semakin masif melalui media sosial.

Lebih lanjut, Meutya menjelaskan bahwa menghapus konten negatif saja tidak cukup untuk menyelesaikan akar permasalahan, terutama terkait kecanduan digital. Oleh karena itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam mencari pendekatan yang lebih komprehensif.

Salah satu contohnya adalah program rehabilitasi dan pendidikan karakter anak di barak militer yang diinisiasi oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Meutya menilai inisiatif tersebut sebagai contoh yang baik dan dapat direplikasi di daerah lain jika terbukti efektif dalam menurunkan tingkat kecanduan digital.

"Kalau seperti inisiatif dari Pak Gubernur Jawa Barat, KDM (Kang Dedi Mulyadi) yang mencoba menurunkan tingkat kecanduan digital lewat pendidikan karakter, ya kenapa tidak? Kalau memang terbukti efektif, bisa jadi contoh bagi daerah lain," tegas Meutya.