Revisi UU ASN Picu Polemik: Sentralisasi Mutasi Ancam Otonomi Daerah

RUU ASN: Kontroversi Sentralisasi dan Dampaknya pada Otonomi Daerah

Dalam lanskap pemerintahan Indonesia yang desentralistik, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah seringkali menjadi arena tarik ulur kepentingan. Saat ini, sorotan tertuju pada revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang memicu perdebatan sengit terkait potensi sentralisasi kewenangan.

Wacana yang berkembang dalam draf revisi dan pembahasan awal di Komisi II DPR RI adalah penguatan peran pemerintah pusat, khususnya presiden atau Menteri PAN-RB, dalam mengendalikan mutasi dan promosi jabatan ASN eselon I dan II di seluruh Indonesia. Argumen yang diajukan adalah untuk menegakkan meritokrasi, namun banyak pihak melihatnya sebagai upaya sentralisasi yang mengancam otonomi daerah.

Sentralisasi kewenangan kepegawaian ini dianggap sebagai kemunduran dari semangat reformasi dan otonomi daerah yang telah diperjuangkan sejak lama. Lebih jauh lagi, rencana ini dikhawatirkan akan mengembalikan praktik lama di mana ASN menjadi alat kekuasaan pusat, alih-alih pelayan masyarakat daerah.

Desentralisasi Terancam?

Reformasi birokrasi di Indonesia lahir dari pengalaman pahit pemerintahan sentralistik di bawah Orde Baru. UU ASN 2014, yang kemudian diperbarui pada 2023, merupakan upaya untuk membangun birokrasi yang profesional, netral, dan melayani. Pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya manusia aparatur menjadi salah satu pilar penting dalam reformasi ini.

Namun, revisi yang diusulkan oleh Komisi II DPR RI mengindikasikan adanya potensi pelucutan kewenangan kepala daerah dalam mutasi dan promosi pejabat tinggi pratama. Meskipun bertujuan untuk mendorong mobilitas talenta nasional dan keseragaman sistem merit, langkah ini berisiko membuka celah bagi intervensi politik. Presiden atau menteri dapat mengangkat pejabat strategis di daerah dengan mengabaikan aspirasi lokal, sehingga mengurangi peran kepala daerah dalam pengambilan keputusan.

Pasal 18 UUD 1945 menjamin hak daerah untuk mengatur dan mengurus urusan sendiri. Mutasi dan pengelolaan ASN di daerah bukan sekadar urusan administrasi, melainkan bagian dari hak konstitusional otonomi. Jika hak ini dicabut, otonomi daerah hanya akan menjadi formalitas belaka.

Konsekuensi dari sentralisasi mutasi adalah meningkatnya ketergantungan politik kepala daerah terhadap pemerintah pusat. Gubernur dapat kehilangan kendali atas perangkat daerahnya jika pejabat-pejabat kunci diangkat langsung oleh pusat, tanpa melalui proses seleksi dan penilaian lokal. Hal ini membuka peluang bagi kooptasi dan patronase politik, di mana ASN lebih loyal kepada pusat daripada daerah, dan birokrasi menjadi alat kekuasaan.

Fenomena pergeseran kewenangan secara diam-diam melalui kebijakan teknokratis, seperti rekomendasi KASN atau intervensi administratif KemenPAN-RB, sebenarnya telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Revisi UU ASN berpotensi melegalkan praktik ini secara eksplisit.

Dalam upaya mencapai keseimbangan antara efisiensi pusat dan dinamika lokal, pengambilalihan kewenangan kepegawaian dapat dianggap sebagai langkah mundur. Pemerintah daerah memiliki legitimasi politik melalui pemilihan langsung, sehingga berhak membentuk tim kerja melalui pengangkatan pejabat strategis yang sesuai dengan visi dan prioritas lokal.

Kontradiksi dalam Argumen Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat berdalih bahwa banyak daerah tidak menjalankan prinsip merit dengan benar, dan praktik jual beli jabatan serta mutasi berdasarkan kedekatan politik masih sering terjadi. Oleh karena itu, intervensi pusat dianggap perlu untuk memperbaiki sistem. Namun, logika ini mengandung paradoks. Jika tujuan utama adalah memperbaiki sistem, maka yang diperlukan adalah penguatan pengawasan dan peningkatan kapasitas daerah, bukan perampasan kewenangan.

UU ASN sebenarnya telah mengatur mekanisme pengawasan, mulai dari Komisi ASN hingga sistem evaluasi berbasis kinerja. Jika instrumen-instrumen ini tidak berfungsi secara maksimal, maka masalahnya terletak pada penegakan hukum dan lemahnya political will untuk memberantas praktik nepotisme di birokrasi. Menyederhanakan solusi menjadi sentralisasi justru mengaburkan akar permasalahan yang sebenarnya.

Persoalan ketimpangan juga menjadi perhatian. Tidak semua daerah memiliki sumber daya dan akses yang sama dalam memengaruhi pusat. Daerah-daerah terpencil atau yang tidak memiliki kedekatan politik dengan elite di Jakarta cenderung akan kalah bersaing. Talenta daerah yang potensial dapat terpinggirkan oleh nama-nama yang dekat dengan pusat. Dalam situasi seperti ini, meritokrasi tidak hanya terancam, tetapi juga menjadi bias struktural.

Bukan tidak mungkin jika jabatan-jabatan eselon I dan II di daerah menjadi ajang barter politik antara elite nasional maupun antara pusat dan daerah. Kepentingan pelayanan publik akan tergerus oleh transaksi kekuasaan, dan profesionalisme ASN akan menjadi korban.

Alternatif Solusi

Alih-alih menyentralisasi, pemerintah pusat dan DPR seharusnya memperkuat sistem merit melalui instrumen pengawasan yang transparan dan partisipatif. Misalnya, dengan memperkuat KASN secara kelembagaan dan memberikan akses publik terhadap proses mutasi dan promosi. Melibatkan masyarakat sipil dan akademisi lokal dalam proses seleksi pejabat juga dapat menjadi jaring pengaman dari praktik koruptif.

Selain itu, kapasitas manajerial kepala daerah perlu ditingkatkan. Pendidikan dan pelatihan mengenai pengelolaan ASN, integritas publik, dan reformasi birokrasi harus menjadi bagian dari ekosistem tata kelola ASN. Negara dapat hadir bukan dengan mengambil alih, tetapi dengan memberdayakan.

Sentralisasi bukanlah solusi, apalagi jika dibungkus dalam jargon reformasi. Revisi UU ASN yang berpotensi merampas kewenangan kepala daerah dalam mutasi ASN adalah langkah mundur dalam demokrasi dan otonomi daerah. Jika dibiarkan, kita bukan hanya menciptakan birokrasi yang kaku, tetapi juga melanggengkan kekuasaan yang tidak akuntabel. Dalam demokrasi, kekuasaan harus dibagi, bukan dipusatkan. Dalam pelayanan publik, keputusan harus dekat dengan warga, bukan hanya dengan elite.

Revisi UU ASN harus dikaji ulang secara mendalam. Jangan biarkan meritokrasi menjadi dalih baru untuk kekuasaan lama yang bercita rasa sentralistik.