Perjanjian Paris Terancam? Politisi Inggris Pertanyakan Dasar Ilmiah Target Iklim 2050

Partai Konservatif Inggris dihadapkan pada perdebatan internal yang signifikan terkait komitmen negara terhadap Perjanjian Paris, sebuah kesepakatan global yang bertujuan untuk membatasi pemanasan global. Andrew Bowie, seorang politisi senior dari partai tersebut, secara terbuka mempertanyakan dasar ilmiah dari target nol emisi pada tahun 2050, yang merupakan inti dari perjanjian tersebut.

Bowie berpendapat bahwa target tersebut bersifat arbitrer dan tidak didukung oleh bukti ilmiah yang kuat. Ia menyatakan bahwa penentuan tahun 2050 sebagai tenggat waktu pencapaian nol bersih lebih didasarkan pada pertimbangan simbolis daripada analisis ilmiah yang mendalam. Menurutnya, Inggris seharusnya tidak terikat oleh target yang ia anggap "sewenang-wenang" dan mendesak dilakukannya evaluasi ulang terhadap keanggotaan negara dalam Perjanjian Paris.

Komentar Bowie ini muncul di tengah peninjauan kebijakan internal yang dilakukan oleh Partai Konservatif. Jika Inggris mengikuti jejak Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump dan menarik diri dari perjanjian tersebut, hal ini akan menjadi pukulan telak bagi upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.

Perjanjian Paris, yang diadopsi pada tahun 2015, menetapkan tujuan ambisius untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, dan idealnya membatasi kenaikan tersebut hingga 1,5 derajat Celcius. Target nol emisi pada tahun 2050 dipandang sebagai langkah penting untuk mencapai tujuan ini. Namun, Bowie berpendapat bahwa kebijakan iklim yang terlalu ambisius dapat merugikan perekonomian Inggris, memperburuk kemiskinan, dan meningkatkan ketergantungan pada sumber energi yang tidak berkelanjutan.

Para ilmuwan terkemuka dengan tegas menolak klaim Bowie dan menegaskan bahwa target nol emisi pada tahun 2050 didukung oleh konsensus ilmiah yang luas. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), badan ilmiah terkemuka di dunia tentang perubahan iklim, telah menyatakan bahwa emisi global harus mencapai nol bersih pada pertengahan abad ini untuk membatasi pemanasan global sesuai dengan tujuan Perjanjian Paris.

Friederike Otto, seorang ahli iklim dari Imperial College London, menyatakan bahwa semua skenario IPCC yang menjaga suhu di bawah 2 derajat Celcius memerlukan pencapaian nol bersih secara global pada tahun 2050. Ia berpendapat bahwa negara-negara maju seperti Inggris seharusnya berupaya mencapai target ini lebih cepat.

Bowie mengakui bahwa ada ilmuwan yang tidak setuju dengan batas waktu tersebut, meskipun ia tidak menyebutkan nama atau memberikan bukti untuk mendukung klaimnya. Pernyataan Bowie ini kontras dengan posisi Inggris sebelumnya, yang pernah menjadi pemimpin global dalam komitmen nol emisi pada tahun 2050 ketika menjadi tuan rumah KTT Iklim PBB COP26 di Glasgow pada tahun 2021.

Klaim bahwa kebijakan iklim akan memperburuk kemiskinan dan ketergantungan energi dibantah oleh laporan OECD dan Stern Review tahun 2006, yang menunjukkan bahwa upaya mitigasi perubahan iklim justru menguntungkan secara ekonomi dalam jangka panjang. Mike Childs dari organisasi lingkungan Friends of the Earth mengecam komentar Bowie, dengan menyatakan bahwa IPCC terdiri dari ilmuwan paling terkemuka dari 195 negara, dan hasil mereka melalui peninjauan ketat.

Perdebatan di Inggris ini menyoroti ketegangan yang ada antara ambisi iklim dan pertimbangan ekonomi, serta pentingnya membangun konsensus yang kuat berdasarkan bukti ilmiah yang akurat untuk mengatasi tantangan perubahan iklim.