Antara Kobaran Api dan Kesejahteraan: Potret Pilu Petugas Pemadam Kebakaran di Indonesia
Di balik setiap kobaran api yang berhasil dipadamkan, tersembunyi kisah pilu para petugas pemadam kebakaran (damkar) di Indonesia. Mereka adalah garda terdepan dalam melawan amukan si jago merah, namun seringkali terlupakan dan kurang diapresiasi.
Setiap tanggal 4 Mei diperingati sebagai Hari Pemadam Kebakaran Internasional, momentum ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua tentang pengorbanan dan dedikasi para petugas damkar. Namun, ironisnya, perhatian terhadap mereka seringkali hanya sebatas seremonial di media sosial, tanpa diikuti dengan perbaikan nyata dalam kesejahteraan dan fasilitas kerja.
Realita yang Memprihatinkan
Kondisi petugas damkar di Indonesia jauh dari ideal. Rasio petugas damkar dan jumlah penduduk masih timpang. Idealnya, satu petugas damkar melayani 8.000 penduduk, namun di Indonesia, rasionya adalah 1:12.500. Keterbatasan jumlah personel diperparah dengan kondisi armada yang sudah uzur. Data Asosiasi Pemadam Kebakaran Indonesia (APKI) menyebutkan bahwa 40% armada pemadam kebakaran berusia lebih dari 10 tahun.
"Kami seperti dokter UGD yang kekurangan obat," ungkap seorang komandan regu damkar, menggambarkan betapa sulitnya mereka bekerja dengan sumber daya yang minim. Mereka harus berjibaku dengan selang air yang sudah ditambal, armada tua yang sering mogok, dan peralatan pelindung diri yang tidak memadai.
Risiko Tinggi, Gaji Rendah
Profesi petugas damkar adalah salah satu yang paling berbahaya di dunia. Mereka tidak hanya berhadapan dengan kobaran api, tetapi juga asap beracun, reruntuhan bangunan, ledakan gas, dan risiko trauma psikologis. Sebuah studi menunjukkan bahwa risiko kematian petugas damkar 3,5 kali lebih tinggi dibandingkan profesi berbahaya lainnya. Paparan asap kebakaran juga meningkatkan risiko kanker paru-paru hingga 15%.
Ironisnya, gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan risiko yang dihadapi. Rata-rata penghasilan petugas damkar di Indonesia berkisar antara Rp 3-4,5 juta per bulan. Jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura dan Australia, yang memberikan kompensasi jauh lebih besar.
Lebih dari Sekadar Angka
Para petugas damkar adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan orang lain, tanpa mengharapkan imbalan yang besar. Mereka tidak berpikir transaksional seperti politisi yang menghitung suara atau selebriti yang mengejar followers. Mereka hanya ingin menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
Namun, sampai kapan kita akan terus mengabaikan mereka? Sampai kapan kita hanya mengingat mereka saat api berkobar, lalu melupakannya ketika semua kembali normal? Sudah saatnya kita memberikan perhatian yang lebih besar kepada para petugas damkar, bukan hanya dalam bentuk ucapan selamat di media sosial, tetapi juga dalam bentuk peningkatan kesejahteraan, peremajaan armada, dan pelatihan yang memadai.
Kita tidak bisa mengharapkan mereka melakukan tugasnya dengan baik jika mereka tidak memiliki peralatan yang layak, gaji yang memadai, dan dukungan dari masyarakat. Mereka adalah manusia biasa, bukan "pemadam keajaiban". Mereka pantas mendapatkan penghargaan dan penghormatan yang setimpal dengan pengorbanan mereka.
Beberapa point penting yang harus menjadi perhatian:
- Kesejahteraan petugas damkar masih jauh dari kata layak.
- Sarana dan prasarana yang dimiliki sangat minim.
- Resiko pekerjaan sangat tinggi.