Tragedi Ledakan Amunisi di Garut: SOP TNI Dipertanyakan, Pengamat Soroti Keberadaan Warga Sipil di Zona Bahaya

Tragedi ledakan amunisi saat proses pemusnahan yang dilakukan oleh TNI di Garut, Jawa Barat, telah memicu sorotan tajam terhadap standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku. Insiden ini, yang menelan korban jiwa dari kalangan sipil dan militer, menimbulkan pertanyaan mendasar tentang efektivitas protokol keamanan yang diterapkan dalam penanganan bahan peledak.

Co-founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS), Dwi Sasongko, menyoroti secara khusus mengenai keberadaan warga sipil di area yang seharusnya steril selama proses pemusnahan amunisi berlangsung. Menurutnya, SOP yang ideal harus mencakup serangkaian langkah preventif yang ketat, termasuk pemberitahuan resmi kepada masyarakat, penutupan akses jalan menuju lokasi, dan pengamanan perimeter yang solid sebelum kegiatan berisiko tinggi semacam itu dimulai. Dwi menambahkan, meskipun pemusnahan amunisi adalah prosedur rutin untuk menangani bahan peledak yang sudah melewati masa pakai, pelaksanaannya harus dilakukan dengan tingkat kehati-hatian dan profesionalisme yang tinggi.

Bahan peledak yang telah kedaluwarsa memiliki karakteristik yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan tekanan, sehingga potensi risiko ledakan dapat meningkat secara signifikan. Upaya pemusnahan amunisi sendiri merupakan bagian dari SOP TNI, tetapi implementasinya dinilai kurang optimal. Kurangnya koordinasi dan pengawasan yang ketat dapat berakibat fatal, seperti yang terjadi dalam insiden di Garut ini.

ISDS menekankan pentingnya memilih lokasi yang benar-benar aman dan terpencil untuk kegiatan peledakan amunisi. Lokasi pemusnahan harus benar-benar terisolasi dengan radius pengamanan yang diperhitungkan secara matang berdasarkan daya ledak amunisi. Sosialisasi kepada warga dan penutupan akses wajib dilakukan sebelum kegiatan dimulai, agar tidak ada masyarakat yang terpapar risiko. SOP teknis perlu diperbarui dengan melibatkan teknologi pemantauan modern serta prosedur pengecekan ulang kondisi bahan peledak.

Selain itu, Dwi Sasongko juga memberikan beberapa catatan penting yang perlu menjadi perhatian serius. Di antaranya adalah:

  • Lokasi Pemusnahan Terisolasi: Pemilihan lokasi harus mempertimbangkan faktor keamanan maksimal dengan radius pengamanan yang sesuai dengan potensi daya ledak amunisi.
  • Sosialisasi dan Penutupan Akses: Pemberitahuan kepada warga sekitar dan penutupan akses jalan harus dilakukan secara menyeluruh sebelum kegiatan dimulai untuk menghindari paparan risiko.
  • Pembaruan SOP Teknis: SOP yang ada perlu diperbarui dengan mengadopsi teknologi pemantauan modern dan prosedur pengecekan ulang kondisi bahan peledak untuk meminimalkan risiko.
  • Pelatihan Personel: Pelatihan ulang personel sangat diperlukan, termasuk penggunaan sensor, drone, hingga simulasi penanganan skenario terburuk.

Insiden ledakan amunisi di Garut menjadi pengingat betapa pentingnya penerapan SOP yang ketat dan pembaruan prosedur yang relevan dengan perkembangan teknologi. Tanggung jawab utama terletak pada penyelenggara kegiatan, dalam hal ini TNI, namun tanggung jawab moral dan sistemik juga harus dibagi kepada seluruh pemangku kebijakan, agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali.

Ledakan di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada Senin (12/5/2025) pagi itu mengakibatkan 13 orang meninggal dunia, terdiri dari empat prajurit TNI dan sembilan warga sipil.