Tragedi Ledakan Amunisi di Garut: Sorotan Tajam pada Profesionalitas dan Keamanan Penanganan Bahan Peledak
Ledakan amunisi yang terjadi di Garut, Jawa Barat, menjadi sorotan tajam terhadap standar keamanan dan profesionalitas dalam penanganan bahan peledak oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pemangku kebijakan pertahanan.
Insiden ini, yang terjadi setahun setelah peristiwa serupa di Gudang Peluru Cibubur, menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas prosedur dan protokol yang ada. Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) menekankan bahwa kejadian ini menggarisbawahi pentingnya reformasi sistemik dalam pengelolaan amunisi, khususnya yang telah melewati masa pakai.
Co-founder ISDS, Dwi Sasongko, menyoroti bahwa ledakan di Garut, yang mengakibatkan korban jiwa dari kalangan militer dan sipil, seharusnya menjadi pelajaran berharga. Secara kimiawi, bahan peledak cenderung menjadi semakin tidak stabil seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, pemusnahan rutin menjadi suatu keharusan untuk mencegah risiko yang tidak diinginkan.
Namun, proses pemusnahan harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan mengikuti Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat serta adaptif terhadap perkembangan teknologi. Kegagalan dalam mematuhi protokol yang ada dapat berakibat fatal, seperti yang terjadi dalam insiden di Garut.
ISDS menyoroti beberapa aspek penting yang perlu diperbaiki dalam sistem pengelolaan amunisi TNI. Pertama, lokasi pemusnahan harus benar-benar terpencil dan memiliki radius pengamanan yang sesuai dengan potensi daya ledak amunisi yang akan dimusnahkan. Kedua, pemberitahuan dan penutupan akses bagi warga sekitar harus dilakukan secara menyeluruh sebelum proses pemusnahan dimulai, untuk memastikan tidak ada masyarakat sipil yang berada dalam zona berbahaya.
Selain itu, peningkatan protokol teknis juga menjadi hal yang krusial. Penggunaan teknologi modern seperti drone dan robot dapat membantu meminimalkan risiko bagi personel yang terlibat dalam proses pemusnahan. Sistem evakuasi darurat juga perlu diperkuat untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya insiden yang tidak diinginkan.
Pelatihan rutin bagi personel yang menangani peledakan amunisi harus ditingkatkan dan disesuaikan dengan skenario terburuk. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa personel memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk menghadapi situasi darurat.
Ledakan di Garut terjadi pada Senin (12/5/2025) pagi, di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut. Saat itu, TNI tengah melakukan pemusnahan amunisi kedaluwarsa. Peristiwa tersebut menewaskan 13 orang, yang terdiri dari empat prajurit TNI dan sembilan warga sipil.
Sebelumnya, pada 30 Maret 2024, Gudang Amunisi Daerah (Gudmurah) Kodam Jaya di Kampung Parung Pinang, Desa Ciangsana, Kabupaten Bogor, juga mengalami kebakaran dan ledakan. Ledakan tersebut menyebabkan amunisi seperti granat, rudal, peluru, dan mortir terpental ke rumah-rumah warga. Insiden ini terjadi karena amunisi kedaluwarsa yang seharusnya dimusnahkan meledak sebelum waktunya.
Tragedi di Garut dan Cibubur menjadi pengingat keras akan pentingnya profesionalitas, keamanan, dan tanggung jawab dalam penanganan bahan peledak. Reformasi sistemik dalam pengelolaan amunisi TNI menjadi suatu keharusan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan. Tanggung jawab tidak hanya berada di pundak TNI sebagai penyelenggara kegiatan, tetapi juga pada seluruh pemangku kebijakan untuk memastikan sistem yang aman dan efektif dalam pengelolaan amunisi.
Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:
- Lokasi Pemusnahan: Harus terpencil dengan radius pengamanan yang memadai.
- Pemberitahuan: Warga sekitar harus diberitahu dan akses ditutup sebelum pemusnahan.
- Protokol Teknis: Tingkatkan penggunaan teknologi seperti drone dan robot.
- Sistem Evakuasi: Perkuat sistem evakuasi darurat.
- Pelatihan Personel: Tingkatkan pelatihan rutin dan sesuaikan dengan skenario terburuk.