Pembinaan Karakter Anak: Menghindari Stigma dan Membangun Pendidikan Inklusif

Pembinaan Karakter Anak: Menghindari Stigma dan Membangun Pendidikan Inklusif

Kebijakan pembinaan anak melalui pendekatan militer yang diterapkan oleh beberapa pemerintah daerah di Indonesia menuai perdebatan di masyarakat. Inisiatif ini, yang melibatkan pelatihan di lingkungan militer bagi siswa bermasalah, pembekalan bela negara, dan pendidikan karakter melalui kolaborasi dengan militer, bertujuan untuk membentuk karakter dan kedisiplinan anak.

Namun, implementasi kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran terkait potensi stigmatisasi terhadap anak-anak. Pemberitaan media yang cenderung menyoroti pengiriman "anak nakal" ke barak militer dapat menciptakan label negatif yang justru kontraproduktif. Dalam konteks hukum, anak-anak yang berkonflik dengan hukum disebut sebagai "Anak Berkonflik dengan Hukum" (ABH) dan anak binaan di Lapas, bukan pelaku atau narapidana, untuk menghindari pelabelan negatif.

Bahaya Stigmatisasi

Teori labeling dari Howard Becker menjelaskan bahwa label negatif yang terus-menerus diberikan kepada seseorang dapat mendorong individu tersebut untuk menyesuaikan diri dengan label tersebut. Dalam kasus anak-anak, label "nakal" dapat membuat mereka percaya bahwa mereka memang nakal, dan kemudian bertindak sesuai dengan persepsi tersebut. Hal ini dapat menghambat potensi positif anak dan merusak hubungan sosial dan emosional mereka. Anak-anak yang distigma cenderung merasa tidak berharga, malu, atau marah, dan mencari pelarian di lingkungan yang tidak sehat.

Edwin M. Lemert juga menjelaskan bahwa pelabelan dapat melahirkan penyimpangan kedua (secondary deviation), yaitu perilaku menyimpang sebagai upaya mempertahankan diri atau melawan masalah akibat reaksi dari perilaku menyimpang sebelumnya.

Pentingnya Pendekatan Holistik

Untuk mengatasi kenakalan anak, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan mendalam. Orang tua, guru, dan masyarakat perlu menggali alasan di balik perilaku anak, yang mungkin berasal dari masalah keluarga, tekanan emosi, atau kesulitan belajar.

Teori kontrol sosial dari Travis Hirschi menekankan pentingnya ikatan sosial dengan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam mengendalikan perilaku seseorang. Jika ikatan ini lemah, anak-anak lebih rentan terlibat dalam perilaku menyimpang.

Peran Kontrol Sosial

Lawrence E. Cohen dan Marcus Felson menyatakan bahwa kejahatan terjadi ketika ada pelaku potensial, target yang rentan, dan ketiadaan pengawasan. Oleh karena itu, pengawasan dari orang tua dan masyarakat sangat penting untuk mencegah anak-anak menjadi target kejahatan atau terlibat dalam tindakan kriminal.

Pembinaan Kolaboratif yang Inklusif

Alih-alih fokus pada pemberian label dan hukuman, pembinaan anak-anak seharusnya melibatkan kolaborasi antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Pendidikan yang inklusif harus menghilangkan pembedaan antara anak "nakal" dan "tidak nakal", dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak untuk mengembangkan potensi mereka.

Pendidikan militer, jika bertujuan untuk membangun disiplin dan cinta tanah air, harus diberikan kepada semua anak tanpa memandang kategori "nakal" atau "tidak nakal". Jika tujuannya adalah menanggulangi kenakalan, penegakan hukum dapat menjadi solusi, namun tidak menjamin perubahan perilaku.

Yang terpenting adalah bagaimana pendidikan dapat membebaskan anak-anak dari potensi perilaku menyimpang. Sikap anak yang melanggar norma dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pola asuh orang tua, pengawasan di sekolah, dan lingkungan tempat tinggal.

Pendidikan militer harus membebaskan anak-anak dari potensi sikap "nakal", bukan sebagai hukuman. Bahkan penjara pun kini berorientasi pada pemulihan, bukan hanya penghukuman. Sekolah dan pemerintah perlu menggandeng aparat penegak hukum untuk memberikan pembinaan preventif kepada seluruh siswa. Dengan pendekatan ini, pendidikan inklusif dapat terwujud.