Pakar Hukum Sarankan Pendekatan Restoratif dalam Kasus Meme Jokowi-Prabowo yang Menjerat Mahasiswi ITB

Kasus mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang terjerat hukum akibat unggahan meme kontroversial yang menampilkan Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto, menuai tanggapan dari berbagai pihak. Albert Aries, seorang pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, memberikan pandangannya terkait penanganan kasus ini.

Albert Aries menyarankan agar aparat penegak hukum mempertimbangkan pendekatan non-pidana dalam menyelesaikan perkara ini. Menurutnya, sanksi pidana seharusnya menjadi upaya terakhir (ultimum remedium) setelah opsi-opsi lain dieksplorasi. Ia menekankan pentingnya mengedepankan pembinaan sebagai alternatif yang lebih konstruktif.

"Prinsipnya masih ada sanksi-sanksi lain selain sanksi pidana yang dapat dikedepankan sebagai ultimum remedium, misalnya dengan pembinaan," ujar Albert Aries.

Namun, Albert juga menekankan bahwa keputusan akhir mengenai kelanjutan atau penghentian kasus ini tetap berada di tangan pihak kepolisian. Ia berharap, kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat luas mengenai perbedaan antara kritik yang sah dan tindakan yang melanggar hukum.

Kasus ini bermula ketika seorang mahasiswi ITB ditangkap karena membuat dan mengunggah meme yang dianggap tidak senonoh, yang menampilkan visualisasi Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto. Unggahan tersebut kemudian memicu reaksi dan berujung pada proses hukum.

Menurut Albert, perbuatan mahasiswi tersebut berpotensi melanggar Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal ini mengatur tentang larangan menyebarkan informasi atau dokumen elektronik yang mengandung muatan yang melanggar kesusilaan.

Definisi pelanggaran kesusilaan sendiri, mengacu pada Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru, mencakup tindakan mempertontonkan ketelanjangan, alat kelamin, atau aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Albert Aries mempertanyakan apakah unggahan foto dua orang laki-laki berciuman, yang notabene adalah Presiden ke-7 dan Presiden ke-8, melanggar norma kesusilaan yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia. Pertanyaan ini menggarisbawahi kompleksitas dalam menafsirkan batasan kesusilaan di era digital.

Kasus ini memicu perdebatan tentang kebebasan berekspresi, batasan kritik terhadap pejabat publik, dan penerapan UU ITE. Banyak pihak menyerukan agar aparat penegak hukum lebih bijaksana dalam menangani kasus-kasus serupa, dengan mengutamakan pendekatan yang edukatif dan restoratif.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan krusial:

  • Sejauh mana batasan kebebasan berekspresi di dunia maya?
  • Bagaimana cara membedakan antara kritik yang konstruktif dan penghinaan?
  • Apakah UU ITE sudah tepat diterapkan dalam kasus-kasus seperti ini?

Pihak ITB sendiri telah mengonfirmasi kejadian ini dan menyatakan telah berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Kasus ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk merefleksikan kembali batasan kebebasan berekspresi dan pentingnya etika dalam bermedia sosial.

Albert menekankan bahwa aparat penegak hukum memiliki diskresi dalam menangani kasus ini. Ia berharap agar kepolisian dapat mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk niat pelaku, dampak dari perbuatannya, dan potensi efek jera dari sanksi yang diberikan. Tujuan utama dari penegakan hukum seharusnya adalah untuk memberikan keadilan dan menjaga ketertiban umum, bukan sekadar menghukum pelaku.