Transformasi Kuliner Jepang: Dari Tabu Daging Sapi Hingga Wagyu Mendunia

Jepang, yang kini tersohor dengan daging sapi Wagyu berkualitas tinggi, khususnya Kobe yang mendunia karena kelembutan, kelezatan, dan marblingnya yang khas, menyimpan sejarah panjang terkait konsumsi daging sapi. Jauh sebelum era steak mewah dan ekspor daging sapi sebagai kebanggaan nasional, mengonsumsi daging sapi di Jepang pernah dianggap sebagai tindakan tabu dan melanggar norma sosial yang berlaku selama berabad-abad.

Larangan konsumsi daging sapi di Jepang memiliki akar yang kompleks, terkait erat dengan ajaran agama Buddha dan Shinto, serta pertimbangan praktis terkait sumber daya. Pada abad ke-6, masuknya agama Buddha dari Korea membawa gagasan tentang reinkarnasi dan penghormatan terhadap semua makhluk hidup. Mengonsumsi daging dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas, karena berpotensi memakan nenek moyang yang telah bereinkarnasi dalam wujud hewan. Prinsip-prinsip Buddha tentang menghindari pemborosan dan menghormati kehidupan secara bertahap meresap ke dalam budaya Jepang dan kepercayaan Shinto.

Dekrit Kekaisaran dan Perubahan Pola Makan

Pada tahun 675, Kaisar Tenmu mengeluarkan dekrit resmi pertama yang melarang konsumsi daging sapi, kuda, anjing, ayam, dan monyet selama musim pertanian. Larangan ini kemudian diperluas menjadi tabu sepanjang tahun. Faktor lain yang berkontribusi terhadap larangan ini adalah keterbatasan sumber daya di Jepang. Sebagai negara kepulauan dengan lahan pertanian yang terbatas, masyarakat Jepang lebih mengandalkan ikan dan makanan laut sebagai sumber protein utama. Memelihara hewan ternak membutuhkan sumber daya yang signifikan, sehingga kurang praktis bagi petani Jepang.

Meski demikian, larangan konsumsi daging tidak sepenuhnya berlaku untuk semua orang. Kaum bangsawan Jepang tetap melakukan perburuan hewan liar, dan daging sapi sering dianggap sebagai obat atau makanan khusus yang hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu. Bahkan, beberapa kuil menuntut penebusan dosa yang berat bagi mereka yang melanggar larangan tersebut.

Penghapusan Tabu dan Modernisasi

Perubahan signifikan terjadi pada era Restorasi Meiji pada abad ke-19. Pemerintah Meiji mulai menghapus pantangan kuno dan mendorong modernisasi, termasuk dalam bidang kuliner. Kaisar Meiji sendiri mengonsumsi daging sapi pada Tahun Baru 1872, sebagai upaya untuk meyakinkan masyarakat Jepang agar meninggalkan kebiasaan pantang daging. Pemerintah juga mendirikan perusahaan untuk memproduksi daging dan produk susu. Lambat laun, konsumsi daging sapi menjadi semakin umum di kalangan masyarakat Jepang, dan industri peternakan sapi pun mulai berkembang.

Transformasi dari tabu menjadi komoditas unggulan ini mencerminkan perubahan besar dalam masyarakat Jepang. Dari larangan agama dan pertimbangan praktis, daging sapi kini menjadi simbol kemewahan dan kualitas tinggi. Daging sapi Wagyu, khususnya Kobe, menjadi daya tarik kuliner yang mendunia, membuktikan bahwa Jepang telah berhasil mengubah persepsi masyarakat tentang daging sapi dan menjadikannya bagian penting dari identitas kulinernya.