Kegagalan Tata Kelola Korporasi: Studi Kasus eFishery dan Pertamina
Kegagalan Tata Kelola Korporasi: Studi Kasus eFishery dan Pertamina
Kasus dugaan manipulasi laporan keuangan di eFishery dan dugaan pengoplosan Pertamax di Pertamina, meskipun berbeda sektor, mengungkapkan permasalahan mendasar yang sama: kelemahan sistem Governance, Risk, and Compliance (GRC) di Indonesia. Kedua kasus ini bukan sekadar insiden terisolasi, melainkan cerminan dari risiko sistemik yang mengancam keberlanjutan perusahaan, baik startup maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Analogi kapal nelayan tradisional yang menolak teknologi navigasi modern dan akhirnya kandas, menggambarkan situasi serupa. Keengganan mengadopsi sistem GRC yang kuat dan efektif, dengan mengandalkan 'kearifan lokal' atau pendekatan yang kurang terukur, berakibat fatal. eFishery, yang sempat digadang-gadang sebagai startup inovatif, kini terpuruk akibat skandal yang mengikis kepercayaan investor. Sementara Pertamina, perusahaan energi nasional, menghadapi citra negatif akibat dugaan praktik yang merugikan konsumen dan negara. Kedua kasus ini menunjukan betapa pentingnya penerapan GRC yang kuat dan efektif, bukan hanya sebagai pemenuhan regulasi, namun sebagai investasi untuk keberlanjutan bisnis.
Tiga Garis Pertahanan yang Runtuh: Analisis Model Three Lines of Defense
Model Three Lines of Defense (3LoD), sebuah kerangka kerja manajemen risiko yang umum digunakan, terdiri dari tiga garis pertahanan:
-
Garis Pertama: Manajemen Operasional. Di eFishery, indikasi adanya rekayasa data menunjukkan kegagalan pada garis ini. Integritas operasional yang lemah dan kurangnya kontrol internal memungkinkan manipulasi laporan keuangan. Di Pertamina, potensi pengabaian standar kualitas produk demi mengejar target produksi menunjukan kelemahan pengawasan internal pada level operasional.
-
Garis Kedua: Fungsi Risiko dan Kepatuhan. Perusahaan keluarga seringkali menempatkan anggota keluarga dalam posisi kunci manajemen risiko, tanpa mempertimbangkan kompetensi yang memadai. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan dan menghambat efektivitas fungsi pengawasan. Di BUMN, kekurangan Chief Risk Officer (CRO) independen, sebagaimana temuan KPK, menunjukkan kelemahan sistematis dalam pengawasan risiko dan kepatuhan.
-
Garis Ketiga: Audit Internal. Audit internal yang efektif seharusnya mampu mendeteksi anomali keuangan. Namun, tekanan untuk menjaga citra perusahaan atau loyalitas terhadap pemilik (Agency Theory) dapat membatasi independensi dan efektivitas audit. Di Pertamina, audit mungkin lebih fokus pada aspek administratif ketimbang substansi teknis, sehingga potensi masalah operasional dapat terlewatkan.
Jalan Menuju Reformasi Tata Kelola
Agar terhindar dari pengulangan kasus serupa, diperlukan langkah konkret dan komprehensif. Beberapa strategi yang dapat diadopsi antara lain:
- Pemanfaatan Teknologi: Penerapan teknologi seperti AI-driven audit untuk mendeteksi anomali keuangan secara real-time, penggunaan blockchain untuk meningkatkan transparansi rantai pasok, dan pemanfaatan IoT untuk memantau kualitas produk secara berkelanjutan.
- Independensi dan Akuntabilitas: Pemisahan kepemilikan dan manajemen di perusahaan keluarga, serta penguatan independensi CRO di BUMN. Hal ini menuntut penerapan prinsip Stewardship Theory, di mana kepemilikan diimbangi dengan akuntabilitas yang kuat.
- Penegakan Hukum yang Konsisten: Sanksi yang tegas bagi pelanggaran GRC akan menciptakan efek jera. Penting juga untuk membangun sistem whistleblowing yang melindungi pelapor.
- Revolusi Budaya GRC: Integrasi kurikulum GRC di pendidikan tinggi dan peningkatan sertifikasi profesional di bidang GRC.
Kesimpulannya, kasus eFishery dan Pertamina bukanlah sekadar masalah individual, melainkan indikasi kelemahan sistemik tata kelola korporasi di Indonesia. Reformasi yang berkelanjutan, dimulai dari penerapan 3LoD yang efektif hingga penegakan hukum yang konsisten, sangat krusial untuk membangun iklim bisnis yang sehat dan berkelanjutan.