Sorotan Pengawasan Halal: Guru Besar IPB Ungkap Potensi Kelemahan Sistem Sertifikasi

Kasus dugaan temuan unsur babi dalam produk makanan anak bersertifikasi halal memicu perdebatan tentang efektivitas pengawasan produk halal di Indonesia. Prof. Khaswar Syamsu, Guru Besar Teknologi Industri Pertanian dan Kepala Pusat Sains Halal IPB University, menyoroti potensi celah dalam sistem sertifikasi halal saat ini.

Prof. Khaswar menjelaskan bahwa pengawasan halal idealnya dilakukan melalui dua mekanisme audit: internal dan eksternal. Audit internal, yang seharusnya dilakukan minimal setahun sekali oleh perusahaan, bertujuan untuk memantau penerapan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Sementara itu, audit eksternal dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) saat pengajuan produk baru atau perpanjangan sertifikat. Keduanya bertujuan mengevaluasi penerapan SJPH dan memastikan prosedur telah sesuai dengan ketentuan.

Namun, Prof. Khaswar berpendapat bahwa sejak diberlakukannya Omnibus Law, fokus utama adalah peningkatan jumlah produk bersertifikat halal, yang berpotensi mengorbankan kualitas pengawasan. Penghapusan masa berlaku sertifikat halal, misalnya, menghilangkan kewajiban audit eksternal secara berkala. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa efektif pengawasan dapat dilakukan tanpa adanya evaluasi rutin oleh pihak independen.

Selain itu, Prof. Khaswar menyoroti bahwa mekanisme pemantauan audit internal belum memiliki sistem yang jelas. Audit surveilans eksternal juga belum memiliki dasar hukum yang kuat, mengingat tidak adanya masa berlaku sertifikat.

Konsekuensi Pelanggaran dan Penanganan Kontaminasi

Apabila terbukti suatu produk halal mengandung unsur babi, konsekuensinya adalah pencabutan sertifikat dan penarikan produk dari peredaran. Produsen wajib melakukan penyucian fasilitas yang terkontaminasi najis berat, mengidentifikasi penyebab kontaminasi, dan menyusun langkah-langkah pencegahan. Sertifikasi halal dapat diajukan kembali setelah tindakan korektif dan preventif dilaksanakan.

Potensi Kesalahan dalam Uji Laboratorium

Prof. Khaswar mengingatkan akan potensi terjadinya false positive (hasil positif palsu) atau false negative (hasil negatif palsu) dalam uji laboratorium akibat perbedaan metode, alat, atau prosedur. Oleh karena itu, penelusuran independen dan objektif sangat penting untuk menentukan penyebab sebenarnya jika memang ditemukan unsur babi dalam produk bersertifikat halal.

Kemungkinan penyebabnya antara lain:

  • Penggunaan bahan baru tanpa pelaporan atau pengujian halal.
  • Pelanggaran dalam proses produksi, penyimpanan, atau pengangkutan.

Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH)

Untuk memperoleh sertifikasi halal, produsen wajib menerapkan SJPH yang dikelola oleh Tim Manajemen Halal. Tim ini harus memiliki Penyelia Halal yang terlatih dan bersertifikat kompetensi resmi.

Elemen kunci dalam SJPH meliputi:

  • Kebijakan halal yang ditandatangani oleh pimpinan tertinggi perusahaan.
  • Dokumen pendukung halal yang valid untuk semua bahan yang digunakan.
  • Fasilitas produksi yang bebas dari kontaminasi bahan haram, termasuk unsur babi.
  • SOP tertulis untuk setiap titik kritis dalam proses produksi.
  • Kemampuan untuk melacak produk kembali ke bahan dan fasilitas produksinya.
  • Prosedur penanganan pelanggaran yang jelas.

Implementasi SJPH harus dipantau dan dievaluasi secara berkala melalui audit internal dan tinjauan manajemen oleh manajemen puncak perusahaan. Produsen juga diwajibkan memiliki Manual SJPH, SOP untuk setiap aktivitas yang mempengaruhi kehalalan produk, dan daftar bahan halal sebagai acuan di seluruh rantai produksi.