Hakim Heru Hanindyo Sanggah Keterlibatan dalam Kasus Suap Pembebasan Ronald Tannur

Hakim Heru Hanindyo Membantah Tuduhan Suap dalam Sidang Duplik

Hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Heru Hanindyo, dengan tegas membantah keterlibatannya dalam kasus dugaan suap yang melibatkan pembebasan Gregorius Ronald Tannur. Dalam sidang duplik yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (5/5/2025), Heru menyatakan bahwa ia tidak menerima uang suap terkait vonis bebas tersebut.

Kasus ini menyeret tiga hakim PN Surabaya, termasuk Erintuah Damanik (ketua majelis), Mangapul, dan Heru Hanindyo sebagai anggota majelis hakim yang membebaskan Ronald Tannur, terdakwa dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti. Heru bersikukuh bahwa kesaksian Erintuah Damanik dan Mangapul tidak sesuai dengan kenyataan yang ia alami.

"Bantahan atau keberatan saya di muka persidangan seharusnya terhadap keterangan Erintuah Damanik dan Mangapul adalah suatu keadaan yang sebenar-benarnya saya alami dan rasakan berdasarkan pancaindra yang saya miliki," ujar Heru dalam persidangan.

Bantahan Alibi dan Penerimaan Uang

Heru dengan tegas membantah tuduhan bahwa ia berada di kantor PN Surabaya saat pembagian uang suap seperti yang diungkapkan oleh Erintuah dan Mangapul. Ia mengklaim memiliki bukti yang menunjukkan bahwa Erintuah memberikan keterangan palsu mengenai keberadaannya pada hari Sabtu, 1 Juni 2024. Menurut Heru, Erintuah berada di Surabaya untuk mengikuti upacara, bukan di Semarang untuk bertemu dengan pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat.

"Keberadaan saya pada tempus yang disebutkan Erintuah Damanik dan Mangapul sejatinya saya tidak berada di tempat sebagaimana dimaksud, in casu di ruangan kerja dan area PN Surabaya pada saat hari Senin tanggal 3 Juni 2024 dan Senin 17 Juni 2024," kata Heru.

"Saya dapat membuktikan bahwa keberadaan Erintuah Damanik pada hari Sabtu tanggal 1 Juni 2024 sejatinya Erintuah Damanik tidak berada di Semarang, tetapi berada di Surabaya, sehingga pada hari Sabtu tanggal 1 Juni 2024 tidak mungkin Erintuah Damanik bertemu dengan Lisa Rahmat, termasuk menerima uang SGD 140.000 pecahan SGD 1000 di Dunkin Donnuts Bandara A. Yani Semarang," sambungnya.

Heru juga membantah mengetahui atau menerima bagian dari uang sebesar SGD 140.000 yang disebutkan oleh Erintuah dan Mangapul. Ia menegaskan bahwa bantahannya ini merupakan bagian dari hak konstitusionalnya untuk membela diri.

Penegasan Hak Membela Diri dan Asas Praduga Tak Bersalah

Heru menekankan pentingnya menjalankan proses hukum yang benar dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Ia berpendapat bahwa penuntut umum seharusnya memahami esensi KUHAP dan HAM dalam menjustifikasi seorang terdakwa.

"Seyogianya, kata dia, dalam menjustifikasi seorang terdakwa, penuntut umum memahami esensi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan mengedepankan logika."

"Oleh karenanya, pertahankan hak dan kewajiban di muka hukum, in casu, dalam persidangan ini dalam bentuk bantahan atau keberatan dan suatu pernyataan yang tidak mengakui, tidak turut serta, dan tidak menerima sejumlah uang sebagaimana perbuatan-perbuatan tersebut dituduhkan kepada diri saya haruslah jangan dipandang sebagai perbuatan yang bernilai negatif atau buruk bahkan dipertimbangkan sebagai hal memberatkan yaitu tidak kooperatif," ucapnya.

Tuntutan Jaksa dan Pengakuan Hakim Lain

Dalam kasus ini, tiga hakim PN Surabaya didakwa menerima suap senilai Rp 4,6 miliar untuk membebaskan Ronald Tannur. Suap tersebut diberikan oleh pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, yang bersumber dari ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur. Erintuah Damanik dan Mangapul telah mengakui menerima suap, sementara Heru Hanindyo bersikeras membantah tuduhan tersebut.

Erintuah Damanik dan Mangapul masing-masing dituntut sembilan tahun penjara, sementara Heru Hanindyo dituntut 12 tahun penjara. Perbedaan tuntutan ini didasarkan pada pengakuan Erintuah dan Mangapul yang mengakui menerima suap, sementara Heru Hanindyo tetap menyangkal.

Kasus ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan mengenai integritas peradilan di Indonesia. Proses hukum yang transparan dan adil diharapkan dapat mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.