Kontroversi WorldID: Iming-Iming Kripto Berujung Pembekuan oleh Kominfo

Kontroversi WorldID: Iming-Iming Kripto Berujung Pembekuan oleh Kominfo

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengambil langkah tegas dengan membekukan sementara operasional Worldcoin dan WorldID di Indonesia. Tindakan ini dipicu oleh praktik kontroversial platform tersebut yang menawarkan imbalan sebesar Rp 800.000 kepada individu yang bersedia melakukan pemindaian retina.

Langkah Kominfo ini merupakan respons cepat terhadap kekhawatiran publik yang berkembang pesat, terutama setelah viralnya kegiatan perekaman data retina di Bekasi melalui media sosial. Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kominfo, Alexander Sabar, menyatakan bahwa pembekuan ini bersifat preventif, bertujuan untuk melindungi masyarakat dari potensi risiko yang mungkin timbul. Kominfo juga berencana memanggil PT. Terang Bulan Abadi, perusahaan yang menaungi Worldcoin dan WorldID, untuk memberikan klarifikasi resmi.

Alfons Tanujaya, seorang pengamat keamanan siber dari Vaksincom, mengonfirmasi adanya praktik pemberian imbalan tersebut. Ia menjelaskan bahwa WorldID memanfaatkan mata uang kripto sebagai insentif bagi pengguna yang bersedia melakukan pemindaian retina. Imbalan yang diberikan berupa koin kripto dengan nilai setara sekitar Rp 800.000. Namun, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu pengguna harus secara aktif masuk (login) ke akun WorldID mereka setiap bulan, dan pembayaran dilakukan secara bertahap atau dicicil.

Menurut Alfons, strategi ini merupakan upaya WorldID untuk membangun basis pengguna aktif. Ia menganalogikan pendekatan ini dengan strategi "bakar uang" yang lazim dilakukan oleh perusahaan rintisan (startup) di awal-awal pengembangan bisnis, seperti yang pernah dilakukan oleh Gojek dan Grab. Tujuannya adalah untuk menarik sebanyak mungkin pengguna dengan memberikan insentif, dengan harapan di masa depan dapat memperoleh pendapatan dari layanan verifikasi identitas yang aman dan transparan.

Alfons juga menyoroti potensi pemanfaatan WorldID dalam berbagai sektor, seperti penjualan tiket. Contohnya, PSSI dapat memanfaatkan sistem WorldID untuk mencegah praktik percaloan tiket dengan mewajibkan calon pembeli untuk melakukan verifikasi akun melalui WorldID sebelum mengikuti proses pembelian tiket.

Menanggapi pembekuan oleh Kominfo, Alfons menyarankan agar pemerintah lebih terbuka terhadap inovasi-inovasi yang berpotensi memberikan manfaat luas kepada masyarakat, seperti WorldID. Namun, ia menekankan pentingnya regulasi yang ketat untuk melindungi data pribadi masyarakat. Ia mengusulkan agar pemerintah meminta WorldID untuk menyimpan data pengguna hanya di server yang berlokasi di Indonesia, mengingat kapasitas pemerintah dalam pengelolaan keamanan data yang masih terbatas. Dengan demikian, pemerintah dapat memanfaatkan keunggulan WorldID dalam mengelola data dan mewujudkan konsep "satu orang, satu identitas" yang terverifikasi.

Saat ini, WorldID menawarkan sistem yang terbuka untuk diimplementasikan. Apabila ada layanan yang membutuhkan verifikasi identitas yang kuat, sistem ini dapat diintegrasikan. Contohnya, PSSI dapat menggunakannya untuk penjualan tiket guna mencegah aktivitas bot. Dengan menghubungkan sistem penjualan tiket ke WorldID, hanya akun yang telah diverifikasi yang dapat berpartisipasi dalam pembelian tiket.

WorldID tampaknya sedang dalam fase investasi agresif untuk mempromosikan layanannya. Strategi ini mirip dengan yang digunakan oleh Gojek dan Grab pada awal kemunculannya, yaitu dengan menghabiskan dana besar untuk menarik pengguna. Jika basis pengguna sudah besar, perusahaan dapat menghasilkan uang dari layanan verifikasi identitas yang aman dan transparan.