Studi Ungkap Proses Penyembuhan Luka Manusia Lebih Lambat Dibanding Primata Lain

Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences mengungkap fakta menarik mengenai perbedaan kecepatan penyembuhan luka antara manusia dan beberapa spesies primata. Penelitian ini menunjukkan bahwa manusia membutuhkan waktu penyembuhan luka yang signifikan lebih lama dibandingkan dengan simpanse (Pan troglodytes) dan bonobo (Pan paniscus).

Temuan ini cukup mengejutkan karena perbedaan tingkat penyembuhan ini tidak ditemukan pada spesies primata lainnya, ataupun jika dibandingkan antara primata non-manusia dengan mamalia lain seperti hewan pengerat. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan penyembuhan luka yang relatif lambat pada manusia kemungkinan merupakan hasil dari adaptasi evolusioner yang unik.

Proses penyembuhan luka pada manusia melibatkan serangkaian tahapan kompleks. Awalnya, terjadi pembekuan darah untuk menghentikan pendarahan. Selanjutnya, sel-sel imun seperti neutrofil dan makrofag bergerak menuju area luka untuk membersihkan bakteri, jaringan mati, dan debris. Setelah area luka bersih, tubuh mulai memperbaiki jaringan yang rusak. Fibroblas menghasilkan kolagen, protein penting yang memberikan struktur dan kekuatan pada jaringan. Pembuluh darah baru terbentuk untuk memasok nutrisi ke area yang terluka, dan sel-sel kulit bermigrasi untuk menutup luka.

Pada mamalia lain, proses penyembuhan luka umumnya serupa dengan manusia, meskipun terdapat beberapa perbedaan kecil. Beberapa spesies, seperti tikus, kuda, dan kucing, menggunakan mekanisme yang disebut kontraksi luka, di mana tepi luka ditarik bersama-sama, mirip dengan jahitan.

Dalam studi ini, para peneliti melakukan serangkaian eksperimen untuk membandingkan tingkat penyembuhan luka antara manusia, primata non-manusia, dan mamalia lainnya. Mereka mengamati penyembuhan luka pada babun zaitun (Papio anubis), monyet Sykes (Cercopithecus albogularis), dan monyet vervet (Chlorocebus pygerythrus) yang ditangkap di alam liar dan dipelihara di Institut Penelitian Primata Kenya. Para primata tersebut diberi anestesi dan dibuatkan luka kecil sepanjang sekitar 4 cm, yang kemudian diukur setiap hari.

Untuk mengukur penyembuhan luka pada simpanse, para peneliti menganalisis foto-foto luka alami yang terjadi pada lima simpanse di Suaka Kumamoto University of Kyoto di Jepang. Luka-luka ini terletak di berbagai bagian tubuh, termasuk tungkai atas, tungkai bawah, punggung, bokong, perut, wajah, dan punggung tangan. Foto-foto tersebut diambil dengan interval dua hingga tujuh hari.

Tingkat penyembuhan luka pada manusia diukur dengan melibatkan 24 sukarelawan yang menjalani operasi pengangkatan tumor kulit di Rumah Sakit University of Ryukyus di Jepang. Luka-luka mereka difoto setiap hari. Sementara itu, luka pada tikus dan mencit dibuat dan dipantau di laboratorium.

Analisis data menunjukkan bahwa tingkat penyembuhan luka pada manusia sekitar tiga kali lebih lambat dibandingkan dengan spesies primata non-manusia yang diteliti.

Para peneliti menduga bahwa perbedaan kecepatan penyembuhan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan karakteristik fisik seperti jumlah rambut tubuh, ketebalan kulit, atau kepadatan kelenjar keringat. Kepadatan kelenjar keringat yang tinggi dapat menyebabkan penurunan kepadatan rambut tubuh, yang mungkin membuat kulit lebih rentan terhadap cedera. Akibatnya, evolusi mendorong perkembangan lapisan kulit yang lebih tebal untuk memberikan perlindungan yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat memperlambat proses penyembuhan.

Namun, para peneliti menekankan bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami sepenuhnya mekanisme yang mendasari perbedaan kecepatan penyembuhan luka ini. Mereka berpendapat bahwa pemahaman yang komprehensif memerlukan pendekatan multidisiplin yang mengintegrasikan data genetik, seluler, morfologi, serta studi komparatif antara kerangka manusia fosil dan primata non-manusia yang masih ada.