Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep Dokter di Indonesia Meningkat, BPOM Waspadai Ancaman Resistensi Antimikroba
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam pengendalian penggunaan antibiotik. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait tingginya angka konsumsi antibiotik tanpa resep dokter di kalangan masyarakat. Data terbaru menunjukkan bahwa hampir 80% penduduk Indonesia menggunakan antibiotik tanpa melalui pemeriksaan dan resep dari tenaga medis profesional.
Kepala BPOM RI, Prof. Taruna Ikrar, menyampaikan peringatan tentang potensi risiko yang mengintai di balik kebiasaan tersebut. Menurutnya, tren ini dapat memicu munculnya silent pandemic, yaitu pandemi tersembunyi akibat resistensi antimikroba (AMR). Resistensi antimikroba terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan, sehingga infeksi menjadi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, sakit parah, dan kematian.
Prof. Taruna menjelaskan bahwa pemantauan yang dilakukan selama tiga tahun terakhir (2021-2024) secara konsisten menunjukkan tingginya angka penggunaan antibiotik tanpa resep. Kondisi ini dianggap sebagai kesalahan prosedur yang serius dan berpotensi besar memicu resistensi antimikroba yang meluas.
"Kita sudah ada 45 persen antibiotik kita resisten terhadap Escherichia coli. Dan kita tahu itu salah satu bakteri yang lazim di negara kita. Nah bisa dibayangin kalau ini berdampak ke orang yang menderita," Ujar Prof. Taruna.
Dampak resistensi antibiotik sangatlah signifikan. Pasien yang terinfeksi bakteri resisten antibiotik akan sulit disembuhkan meskipun telah diberikan pengobatan yang seharusnya efektif. Dalam beberapa kasus, infeksi bakteri resisten bahkan dapat menyebabkan kematian, meskipun sebenarnya penyakit tersebut relatif umum dan seharusnya dapat diatasi dengan antibiotik yang tepat.
Salah satu contoh nyata dari dampak resistensi antibiotik adalah meningkatnya kasus infeksi Escherichia coli (E. coli) yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Data menunjukkan bahwa sekitar 45% antibiotik yang tersedia saat ini tidak lagi efektif dalam membunuh bakteri E. coli di Indonesia.
Ancaman resistensi antibiotik bukan hanya menjadi perhatian di Indonesia. Pakar kesehatan global, Lord Ara Darzi, sebelumnya telah menyampaikan kekhawatiran serupa mengenai silent pandemic resistensi antibiotik. Ia memperingatkan bahwa masalah ini berpotensi menjadi ancaman kesehatan global yang lebih menakutkan daripada COVID-19. Darzi menyebutkan bahwa resistensi antibiotik telah menyebabkan lebih dari satu juta kematian di Inggris setiap tahunnya, akibat munculnya superbug yang tidak dapat diobati.
Situasi ini diperparah dengan fakta bahwa bakteri telah ada selama miliaran tahun, jauh sebelum manusia ada. Bakteri memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan mengembangkan mekanisme resistensi terhadap antibiotik. Oleh karena itu, pengendalian penggunaan antibiotik yang bijak dan rasional menjadi sangat penting untuk mencegah penyebaran resistensi antimikroba dan melindungi kesehatan masyarakat.