Ironi Bantuan Rumah Swadaya: Nenek Marwiyah di Sumenep Kehilangan Tempat Tinggal Akibat Program Pemerintah

Di tengah hembusan angin laut Pulau Paliat, Sumenep, Jawa Timur, Nenek Marwiyah (70) merasakan perih yang mendalam. Rumahnya, yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya, kini rata dengan tanah. Ironisnya, kehancuran ini terjadi justru setelah ia menerima program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) tahun 2024.

Marwiyah, seorang ibu dari tiga anak, tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Bangunan yang telah puluhan tahun melindunginya dari panas dan hujan kini hanya menyisakan puing-puing. Yang berdiri menggantikannya adalah bangunan papan bercat biru yang lebih mirip gudang daripada sebuah rumah layak huni.

"Saya tidak pernah diajak bicara mengenai desain atau bentuk bangunan yang baru," ungkap Marwiyah dengan nada pilu. Ia hanya bisa pasrah ketika seluruh bagian rumahnya dibongkar oleh pemborong, dengan janji akan dibangun kembali menjadi lebih baik berkat bantuan BSPS.

Awalnya, kabar mengenai bantuan BSPS menjadi secercah harapan bagi Marwiyah. Ia membayangkan rumah yang dulu ditempatinya bersama almarhum suaminya, Isra', akan berdiri lebih kokoh dan nyaman. Namun, mimpi itu hancur berkeping-keping ketika melihat wujud bangunan pengganti yang jauh dari harapan.

Bangunan baru tersebut berukuran sekitar 4 meter x 6 meter, dengan cat biru mencolok dan celah di sana-sini. Marwiyah merasa bangunan itu lebih pantas disebut gudang daripada rumah. Ia bahkan sempat mengusulkan agar uang bantuan saja yang diberikan, namun usulannya ditolak oleh pelaksana program.

"Saya hanya dapat bantuan papan. Genting, tiang kayu, bahkan engsel pintu, semua adalah sisa dari rumah saya yang lama," jelas Marwiyah. Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima uang tunai sepeser pun dari program BSPS.

Lebih lanjut, Marwiyah mengungkapkan bahwa ukuran bangunan baru tersebut lebih kecil dari rumahnya yang lama. Pemasangan papan yang tidak rapi juga menyebabkan banyak celah di dinding, membuat rumah tersebut tidak nyaman untuk ditinggali.

Setelah pembangunan selesai, Marwiyah dan penerima bantuan lainnya dikumpulkan di rumah seorang perangkat desa. Di sana, ia masih dimintai uang sebesar Rp 60.000 dengan alasan untuk biaya materai. Karena tidak memiliki uang, Marwiyah hanya bisa meminta maaf.

Rio, cucu Marwiyah, menambahkan bahwa neneknya kini lebih sering menumpang tinggal di rumah anak keduanya, Ibnu. Bangunan yang seharusnya menjadi solusi, justru menambah beban hidup Marwiyah.

Sempat ada upaya perbaikan dengan memasang sekat kayu untuk membuat kamar. Namun, bagi Marwiyah, hal itu tidak bisa mengembalikan kenangan dan kenyamanan dari rumahnya yang telah hilang.

"Sudah selesai dibangun sejak akhir tahun 2024 lalu. Mau bagaimana lagi, saya sudah pasrah, tapi sebenarnya berat," ujar Marwiyah dengan nada getir.

Kasus yang menimpa Nenek Marwiyah hanyalah satu dari sekian banyak permasalahan dalam program BSPS di Kabupaten Sumenep. Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Republik Indonesia bahkan telah melaporkan dugaan pemotongan dana program BSPS. Laporan tersebut dibuat setelah Irjen PKP melakukan inspeksi mendadak dan menemukan 18 temuan penyimpangan, termasuk bantuan yang salah sasaran, upah pekerja yang tidak dibayarkan, dan kondisi bangunan yang tidak sesuai dengan laporan.

Kabupaten Sumenep sendiri merupakan salah satu penerima program BSPS terbesar, dengan anggaran mencapai Rp 109,80 miliar untuk 5.490 unit rumah. Sementara itu, anggaran program BSPS secara nasional mencapai Rp 445,81 miliar untuk 22.258 penerima.