Kontroversi Program 'Wajib Militer' untuk Siswa Bermasalah di Jawa Barat Tuai Kritik

Inisiatif kontroversial berupa program pendidikan semi-militer bagi siswa yang dianggap bermasalah di Jawa Barat resmi dimulai pada Hari Pendidikan Nasional, Jumat (2/5/2025). Program yang digagas oleh pemerintah provinsi ini telah menuai berbagai reaksi dari masyarakat, ahli pendidikan, hingga pengamat militer.

Program yang melibatkan kerja sama dengan TNI dan pemerintah kota/kabupaten ini, pada tahap awal akan dilaksanakan di Purwakarta dan Kota Bandung. Di Purwakarta, puluhan siswa SMP yang dianggap memiliki masalah kedisiplinan telah dikumpulkan di Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha. Mereka akan mengikuti pembinaan karakter selama enam bulan di barak militer.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat berdalih bahwa program ini bertujuan untuk memperkuat karakter bela negara siswa, terutama mereka yang terjerumus dalam pergaulan bebas atau terlibat tindak kriminal. Namun, pendekatan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak.

  • Kritik dari Komisi X DPR RI: Wakil Ketua Komisi X DPR RI mengingatkan agar program ini tidak mengabaikan hak siswa untuk mendapatkan pendidikan formal dan menekankan perlunya pengkajian mendalam dengan melibatkan berbagai pihak.
  • Kritik dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G): P2G menekankan pentingnya basis data yang kuat sebelum menjalankan program ini. Mereka juga mengkhawatirkan stigmatisasi yang mungkin timbul pada siswa yang mengikuti program.
  • Kritik dari Pengamat Militer: Pengamat militer dari ISESS menilai program ini sebagai bentuk kemalasan birokrasi dalam mencari solusi yang tepat bagi masalah psikososial remaja. Menurutnya, kenakalan remaja bukanlah ancaman keamanan yang perlu ditangani dengan pendekatan militer.
  • Kritik dari Direktur Imparsial: Direktur Imparsial menekankan bahwa TNI bukanlah lembaga pendidikan atau rehabilitasi anak. Ia khawatir pendekatan militeristik justru dapat menumbuhkan kecenderungan kekerasan dalam diri anak. Ia juga menilai program ini berpotensi melanggar hak-hak anak.

Selain kritik dari berbagai pihak, program ini juga dinilai belum memiliki dasar regulasi yang jelas. DPRD Jawa Barat menyatakan bahwa regulasi program masih dalam proses penyusunan, dan persoalan pembiayaan juga belum jelas. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai legalitas dan akuntabilitas program.

Poin-poin kontroversi dalam program ini meliputi:

  • Ketidakjelasan dasar hukum program.
  • Kekhawatiran akan potensi pelanggaran hak-hak anak.
  • Efektivitas pendekatan militer dalam mengatasi masalah psikososial remaja.
  • Stigmatisasi terhadap siswa yang mengikuti program.
  • Potensi pengabaian hak siswa untuk mendapatkan pendidikan formal.

Program ini terus menjadi sorotan publik dan menjadi perdebatan di kalangan ahli pendidikan, pengamat militer, dan masyarakat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat mempertimbangkan berbagai masukan dan kritik sebelum melanjutkan program ini.