Kontroversi Outsourcing: Janji Politik Megawati dan Pergulatan Hukum Perlindungan Pekerja

Polemik seputar praktik outsourcing atau alih daya di Indonesia kembali mencuat seiring dengan komitmen Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk meninjau ulang sistem ini. Sejarah panjang regulasi outsourcing di Indonesia tak lepas dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang disahkan pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

UU Ketenagakerjaan tersebut melegalkan keberadaan perusahaan alih daya, namun dengan batasan bahwa hanya pekerjaan penunjang yang boleh dialihdayakan. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pekerja alih daya, termasuk pemenuhan hak-hak mereka oleh penyedia tenaga kerja yang berbadan hukum. Akan tetapi, implementasi aturan ini menuai kritik tajam karena dianggap tidak memberikan kejelasan status dan kesejahteraan bagi pekerja outsourcing. Status mereka yang tidak tetap, ketiadaan tunjangan, dan ketidakpastian waktu kerja menjadi isu krusial yang memicu gelombang protes.

Janji Politik yang Tak Terealisasi

Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, Megawati Soekarnoputri, yang saat itu mencalonkan diri sebagai presiden, membuat kontrak politik dengan serikat buruh. Salah satu poin penting dalam kontrak tersebut adalah janji untuk menghapus praktik outsourcing jika ia terpilih. Janji ini diikrarkan di Lapangan Tugu Proklamasi Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, sebagai bagian dari peringatan hari lahir Bung Karno ke-108. PDI Perjuangan, partai yang mengusung Megawati, berjanji untuk memperjuangkan penghapusan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan. Selain itu, mereka juga berjanji untuk menjadikan 1 Mei atau Hari Buruh Internasional sebagai hari libur nasional. Sayangnya, janji politik ini tidak dapat direalisasikan karena Megawati dan Prabowo Subianto, sebagai pasangan calon, kalah dalam Pilpres 2009.

Uji Materi dan Perlindungan Hukum

Bertahun-tahun kemudian, isu outsourcing kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja terkait klaster alih daya, MK menegaskan bahwa aturan terkait outsourcing harus diatur secara jelas dalam undang-undang untuk memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pekerja alih daya. Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menekankan perlunya kejelasan dalam undang-undang mengenai jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan dalam perjanjian alih daya. Dengan adanya aturan yang jelas, para pihak yang terlibat dalam perjanjian outsourcing akan memiliki standar yang pasti mengenai jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, dan pekerja alih daya hanya akan bekerja pada pekerjaan yang telah disepakati dalam perjanjian tertulis.

MK menilai bahwa Pasal 64 dalam Pasal 81 angka 18 UU Nomor 6 Tahun 2023 yang mengubah Pasal 64 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak secara jelas mengatur mengenai penyerahan sebagian pekerjaan alih daya. MK pun meminta menteri yang berkaitan dengan ketenagakerjaan untuk memperjelas aturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik outsourcing pada peraturan undang-undang.

Implikasi dan Tantangan ke Depan

Putusan MK ini menjadi angin segar bagi upaya perlindungan pekerja outsourcing. Dengan adanya aturan yang lebih jelas, diharapkan status dan hak-hak dasar pekerja, seperti upah, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang layak, dapat terjamin. Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana merumuskan aturan yang benar-benar melindungi pekerja tanpa menghambat fleksibilitas dunia usaha. Pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja perlu duduk bersama untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.

Praktik outsourcing sendiri terus menjadi perdebatan. Bagi pengusaha, outsourcing dapat menjadi solusi efisiensi dan fleksibilitas dalam mengelola sumber daya manusia. Namun, bagi pekerja, outsourcing seringkali dianggap sebagai bentuk eksploitasi dan ketidakpastian kerja. Oleh karena itu, regulasi yang komprehensif dan implementasi yang tegas sangat diperlukan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan perlindungan pekerja.