Warga Buta Aksara di Bantul Diduga Jadi Korban Manipulasi dalam Proses Alih Kepemilikan Tanah

Mbah Tupon, seorang warga lanjut usia dari Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kini menghadapi situasi pelik terkait kepemilikan tanahnya. Ia menduga dirinya menjadi korban praktik manipulasi dalam proses alih kepemilikan tanah miliknya. Pengakuan Mbah Tupon mengungkap bahwa dirinya, yang tidak bisa membaca, diminta untuk menandatangani sejumlah dokumen tanpa penjelasan yang memadai.

Menurut penuturannya, peristiwa tersebut terjadi beberapa waktu lalu. Ia diajak ke suatu tempat di daerah Krapyak, Sewon, Bantul, dan diminta untuk menandatangani dokumen. Mbah Tupon mengaku tidak mengetahui isi dokumen tersebut karena tidak dibacakan atau dijelaskan oleh pihak yang memintanya untuk tanda tangan. Ia hanya diminta untuk menurut dan menandatangani dokumen yang disodorkan.

"Mboten diwacakke, ngertose ken tanda tangan (Tidak dibacakan, tahunya cuma disuruh tanda tangan)," ungkap Mbah Tupon, mengulang apa yang dialaminya. Saat itu, ia ditemani oleh istrinya.

Salah satu dokumen yang ditandatanganinya ternyata berkaitan dengan proses balik nama sertifikat tanah seluas 298 meter persegi. Tanah tersebut dikabarkan telah dibeli oleh seorang anggota DPRD Bantul periode 2019–2024, Bibit Rustamta. Mbah Tupon menceritakan bahwa dirinya sempat dibawa ke kediaman Bibit Rustamta sebelum dibawa ke Krapyak untuk menandatangani dokumen.

"Enjing kula ten Pak Bibit, kula kok diken tandatangan ten Krapyak (Pagi saya ke Pak Bibit, saya kok disuruh tanda tangan di Krapyak)," kata Mbah Tupon, mengingat kembali kejadian tersebut.

Ia juga menirukan ucapan Bibit Rustamta kepadanya saat itu:

"Mbah, kowe manuto wae, rapopo. Pokoke kowe tak kawal seko omah (Mbah, kamu nurut saja, tidak apa-apa. Pokoknya kamu saya kawal dari rumah)."

Sebelum dibawa ke Krapyak, Mbah Tupon dijemput oleh seorang perempuan bernama Fitri. Fitri mengatakan kepadanya bahwa sertifikat tanahnya tidak akan diubah dan tanahnya masih utuh. Ia hanya mengatakan akan membalik nama yang 298 meter persegi. Namun, sesampainya di Krapyak, Mbah Tupon langsung diminta untuk menandatangani dokumen tanpa penjelasan lebih lanjut.

Kasus yang dialami Mbah Tupon ini menyoroti kerentanan warga lanjut usia dan buta aksara terhadap praktik-praktik yang merugikan, terutama dalam hal transaksi tanah. Kejadian ini menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan hukum dan pendampingan yang memadai bagi kelompok rentan dalam setiap proses yang berkaitan dengan hak kepemilikan mereka.