DPR Kritik Pembekuan Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi Pasca-Kasus Kekerasan
Komisi IX DPR RI menyuarakan kekhawatiran atas keputusan Menteri Kesehatan (Menkes) yang membekukan sementara program pendidikan dokter spesialis (PPDS) anestesi di rumah sakit yang terkait dengan insiden perundungan dan kekerasan seksual.
Kebijakan ini, yang diberlakukan di RS Kariadi Semarang dan RS Hasan Sadikin Bandung, menuai kritik dari Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene. Menurutnya, tindakan ini dapat menimbulkan dampak yang lebih besar, terutama bagi para dokter residen yang tidak terlibat dalam kasus tersebut dan berpotensi menghambat kelulusan mereka tepat waktu.
"Pembekuan ini akan berdampak pada kerugian yang lebih besar," ujar Felly dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI. "Oknum yang bersalah harus dihukum, namun peserta didik yang tidak bersalah juga menerima hukuman dengan perlambatan kelulusan. Perlu dipikirkan dampaknya bagi mereka."
Felly menekankan pentingnya mempertimbangkan seluruh aspek sebelum mengambil keputusan. Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini memaksa universitas dan fakultas kedokteran untuk mencari rumah sakit alternatif yang memenuhi standar pendidikan dokter spesialis. Situasi ini juga berpotensi menimbulkan masalah pelayanan di rumah sakit akibat penelantaran pasien.
Di tengah kondisi Indonesia yang masih kekurangan dokter spesialis, Felly mempertanyakan efektivitas kebijakan ini. Ia menyoroti bahwa PPDS berbasis rumah sakit (hospital based), yang baru diresmikan pada tahun 2024 untuk mengatasi ketertinggalan dalam penciptaan dokter spesialis, justru terhambat pelaksanaannya.
"Ini akan baru dilaksanakan, pemerataan yang standar yang Bapak ambil dari luar. Belum dilaksanakan, akan diambil dari sana. Akan dimulai, ya Pak. Tapi, persoalan masalah tata kelola di internal, kementerian kesehatan dulu, Pak," tegasnya.
Menanggapi kritik tersebut, Menteri Kesehatan menjelaskan bahwa langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya perbaikan dan identifikasi masalah dalam lingkup PPDS. Tujuannya adalah untuk mencegah masalah serupa terulang di rumah sakit vertikal Kemenkes.
"Saya hentikan dulu supaya kita bisa lihat. Tapi, pendidikannya tetap berjalan di rumah sakit-rumah sakit lain," jelas Menkes. Ia menambahkan bahwa Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkes tengah menyelidiki akar permasalahan dan meminta Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) untuk melakukan perbaikan berdasarkan masukan dari Itjen.
"Kalau itu sudah diperbaiki, rencananya kita akan aktifkan kembali. Sampai sekarang laporannya sudah masuk dan sudah terlihat progresnya yang baik. Tinggal kita tentukan begitu ini semuanya sudah terpenuhi, kita akan mulai lagi," pungkasnya.
- Kebijakan pembekuan program PPDS anestesi di rumah sakit yang terkait dengan kasus kekerasan.
- Kritik dari Komisi IX DPR RI terhadap kebijakan Menkes.
- Potensi dampak negatif bagi dokter residen yang tidak bersalah dan kelulusan mereka.
- Kekurangan dokter spesialis di Indonesia dan terhambatnya program PPDS berbasis rumah sakit.
- Upaya perbaikan dan identifikasi masalah oleh Kemenkes dan FK Undip.