Nasib Bandara Kertajati: Antara Ambisi Proyek Strategis dan Realitas Sepi Penumpang
Pembangunan infrastruktur gencar dilakukan pemerintah dalam satu dekade terakhir. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR RI menyebutkan ribuan kilometer jalan desa dan jalan tol, puluhan pelabuhan dan bandara baru, serta bendungan dan jaringan irigasi baru telah dibangun. Ambisi ini diwujudkan melalui ratusan Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan nilai investasi triliunan rupiah.
Namun, di balik gemerlap pembangunan infrastruktur, tersimpan ironi yang mencoreng citra proyek-proyek strategis. PPATK mengungkap indikasi korupsi yang menggerogoti anggaran PSN, dengan persentase yang signifikan diduga masuk ke kantong pribadi oknum tertentu. Temuan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran proyek-proyek infrastruktur.
Salah satu contoh nyata adalah Bandara Kertajati. Dibangun dengan biaya triliunan rupiah, bandara ini diharapkan menjadi pusat penerbangan yang melayani jutaan penumpang setiap tahunnya. Namun, kenyataannya jauh dari harapan. Bandara Kertajati sepi penumpang, bahkan tidak mampu mencapai target yang telah ditetapkan. Aksesibilitas yang kurang memadai dan preferensi masyarakat terhadap bandara lain menjadi faktor penyebabnya.
Alih-alih meningkatkan fungsi bandara, pemerintah justru berencana mengalihfungsikannya menjadi pusat perawatan dan perbaikan pesawat (MRO). Keputusan ini menimbulkan tanda tanya besar. Mungkinkah proyek yang pernah menyandang status PSN dengan investasi triliunan rupiah hanya berakhir menjadi bengkel pesawat? Kasus Bandara Kertajati menjadi pelajaran pahit tentang pentingnya perencanaan matang, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek infrastruktur.
Temuan PPATK memunculkan pertanyaan kritis, apakah pembangunan infrastruktur besar-besaran benar-benar ditujukan untuk kepentingan publik atau justru menjadi ajang memperkaya diri? Kasus Bandara Kertajati juga membuka tabir tentang proses penentuan PSN yang terkesan absolut dan kurang melibatkan partisipasi publik. Regulasi yang ada cenderung eksekutif-sentris, sehingga publik seringkali hanya mengetahui fakta pembangunan setelah proyek berjalan.
Harapannya, di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, mekanisme check and balance akan diperkuat, baik dari lembaga legislatif maupun masyarakat sipil. Pembangunan infrastruktur seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan keadilan sosial, bukan sekadar instrumen politik atau ajang korupsi. Kasus Bandara Kertajati harus menjadi pelajaran berharga agar proyek-proyek raksasa di masa depan tidak hanya menjadi monumen ironi yang disesali.
- Kurangnya Aksesibilitas: Salah satu penyebab utama kegagalan Bandara Kertajati mencapai target penumpang adalah kurangnya aksesibilitas. Infrastruktur jalan yang menghubungkan bandara dengan kota-kota besar di sekitarnya belum memadai, sehingga masyarakat lebih memilih menggunakan bandara lain yang lebih mudah dijangkau.
- Preferensi Masyarakat: Masyarakat cenderung memilih bandara yang memiliki lebih banyak pilihan penerbangan dan fasilitas yang lebih lengkap. Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, menawarkan lebih banyak pilihan rute penerbangan dan frekuensi penerbangan yang lebih tinggi dibandingkan Bandara Kertajati.
- Perencanaan yang Kurang Matang: Pembangunan Bandara Kertajati terkesan terburu-buru dan kurang mempertimbangkan berbagai aspek, seperti potensi pasar, aksesibilitas, dan kebutuhan masyarakat. Akibatnya, bandara ini tidak mampu menarik minat maskapai penerbangan dan penumpang.
Ke depan, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek infrastruktur. Partisipasi publik harus ditingkatkan, transparansi dan akuntabilitas harus dijunjung tinggi, dan perencanaan harus dilakukan secara matang dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Dengan demikian, proyek-proyek infrastruktur dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dan negara.