Strategi IESR: Enam Pilar untuk Pengembangan Industri Hidrogen Hijau Nasional
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyerukan implementasi strategi komprehensif yang terdiri dari enam langkah utama untuk mempercepat pengembangan ekosistem hidrogen hijau di Indonesia. Inisiatif ini bertujuan untuk mendukung target dekarbonisasi sektor energi nasional dan menjadikan Indonesia sebagai pemain kunci dalam pasar hidrogen global.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menekankan bahwa penurunan biaya produksi hidrogen hijau sangat bergantung pada penurunan biaya listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin. Saat ini, biaya produksi hidrogen hijau berkisar antara 4,3 hingga 8,3 dollar AS per kilogram. Namun, dengan penerapan strategi yang tepat, Indonesia berpotensi menekan biaya tersebut hingga 2 dollar AS per kilogram sebelum tahun 2040.
Berikut adalah enam langkah strategis yang diusulkan oleh IESR:
- Pengembangan Teknologi dan Energi Terbarukan: Mempercepat penyebaran energi terbarukan untuk menurunkan biaya listrik yang digunakan dalam produksi hidrogen. Investasi dalam riset dan pengembangan teknologi elektrolisis yang efisien juga menjadi kunci.
- Mendorong Produksi Lokal Elektroliser: Pemerintah perlu mendorong produksi elektroliser di dalam negeri melalui kemitraan antara sektor publik dan swasta. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada impor dan menciptakan lapangan kerja baru.
- Integrasi Hidrogen ke Berbagai Sektor: Mengintegrasikan hidrogen ke dalam sektor ketenagalistrikan, industri pupuk, kilang minyak, serta memulai ekspor melalui perjanjian dengan pembeli internasional. Langkah ini akan menciptakan permintaan yang stabil untuk hidrogen hijau.
- Pengembangan Infrastruktur: Membangun infrastruktur yang memadai, termasuk jalur pipa untuk transportasi hidrogen, stasiun pengisian hidrogen, dan fasilitas pelabuhan yang siap untuk ekspor amonia. Infrastruktur yang baik akan mendukung pertumbuhan industri hidrogen.
- Insentif dan Pembiayaan: Pemerintah perlu memberikan insentif yang menarik bagi investor, seperti jaminan offtaker oleh BUMN, insentif harga, dan pengenaan pajak karbon untuk mengurangi risiko investasi awal.
- Standarisasi dan Sertifikasi: Menyusun klasifikasi dan sertifikasi hidrogen nasional, memasukkan proyek hidrogen ke dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), serta memperkuat kebijakan energi terbarukan yang mendukung proyek hidrogen.
- Peningkatan Keahlian SDM: Meningkatkan keahlian sumber daya manusia melalui program pelatihan, sertifikasi, dan pemetaan kebutuhan tenaga kerja untuk mendukung seluruh rantai nilai hidrogen hijau. Investasi dalam SDM sangat penting untuk keberhasilan jangka panjang industri hidrogen.
Tumiwa menambahkan bahwa untuk membangun ekonomi hidrogen hijau yang kompetitif, Indonesia memerlukan pendekatan terkoordinasi yang mencakup pengembangan teknologi, regulasi yang jelas, pembiayaan yang memadai, dan kerja sama internasional yang erat. Ia juga menekankan bahwa hidrogen hijau adalah peluang besar yang tidak hanya mendukung dekarbonisasi, tetapi juga membuka pasar baru dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Dengan potensi pasar hidrogen di Asia Tenggara yang diperkirakan mencapai 51 miliar dollar AS pada tahun 2030 dan 141 miliar dollar AS pada tahun 2050, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemasok utama hidrogen hijau di pasar internasional. Mengingat sekitar sepertiga dari permintaan global hidrogen pada tahun 2050 diproyeksikan berasal dari perdagangan lintas negara, Indonesia perlu segera berinvestasi dalam ekosistem hidrogen hijau dari hulu hingga hilir untuk dapat bersaing di pasar energi bersih global.