Stigmatisasi Kritik: Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat di Ranah Publik

Pernyataan kontroversial Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, dalam sebuah forum di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, telah memicu gelombang kritik dan kekhawatiran di kalangan akademisi, pengamat kebijakan, dan masyarakat sipil. Amran mengindikasikan bahwa seorang pengamat pertanian yang kerap mengkritisi kebijakan pemerintah akan segera diproses hukum dan menyebutnya sebagai "musuh negara". Menteri mengklaim bahwa yang bersangkutan, yang berasal dari sebuah universitas ternama, terlibat dalam proyek fiktif yang didanai oleh Kementerian Pertanian.

Pernyataan ini, tanpa menyebut nama secara spesifik, langsung menuai kecaman karena dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kritik dan ancaman terhadap kebebasan berpendapat. Banyak pihak menilai bahwa tindakan Menteri Amran berpotensi mengkriminalisasi perbedaan pendapat dan mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.

Ancaman semacam ini bukan hanya membahayakan individu yang menjadi target, tetapi juga menciptakan iklim ketakutan di kalangan akademisi dan pengamat. Hal ini dapat menghambat partisipasi publik dalam mengawal kebijakan pemerintah dan memberikan masukan konstruktif demi perbaikan.

Ancaman terhadap Demokrasi

Para pengamat dan aktivis menilai bahwa pernyataan Menteri Amran merupakan bentuk arogansi kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang. Mereka khawatir bahwa pemerintah menggunakan aparat penegak hukum untuk membungkam suara-suara kritis dan mempertahankan status quo. Penggunaan istilah "musuh negara" untuk melabeli pengkritik kebijakan juga dianggap sebagai upaya stigmatisasi yang berbahaya dan dapat memicu persekusi.

Beberapa poin penting yang menggarisbawahi bahaya pernyataan tersebut adalah:

  • Pergeseran Makna "Musuh Negara": Istilah ini, yang seharusnya merujuk pada ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan negara, disalahgunakan untuk menstigmatisasi kritik terhadap kebijakan pemerintah.
  • Intervensi Kekuasaan Eksekutif: Menteri Amran seolah-olah mengambil alih peran aparat penegak hukum dengan mengumumkan potensi penahanan seseorang di muka umum.
  • Ancaman terhadap Ruang Akademik: Pernyataan ini mengancam kebebasan berpendapat dan partisipasi sipil, terutama di kalangan akademisi dan pengamat yang memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengevaluasi kebijakan publik.

Kritik Sebagai Pilar Demokrasi

Dalam negara hukum yang demokratis, kritik merupakan elemen penting untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi pemerintah. Pengamat dan akademisi memiliki hak konstitusional untuk mengawasi, mengevaluasi, dan bahkan menolak kebijakan publik. Ketika seorang menteri mengasosiasikan kritik dengan tindakan kriminal, hal ini merupakan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi.

Kasus ini juga menyoroti penggunaan pasal-pasal karet dalam hukum Indonesia, seperti pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, untuk membungkam kritik. Praktik ini telah berulang kali digunakan untuk menjerat mereka yang berbeda pendapat dengan pemerintah.

Penting untuk diingat bahwa kritik terhadap kebijakan pertanian, termasuk isu kelangkaan pupuk, penyaluran bantuan alat pertanian, dan ketahanan pangan, adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Negara yang maju adalah negara yang terbiasa dikoreksi, bukan negara yang menakuti kritik.

Ancaman terhadap kritik menunjukkan bahwa pemerintah lebih takut pada kritik daripada pada korupsi. Pola kriminalisasi gaya baru, di mana seseorang divonis di ruang publik sebelum melalui proses hukum yang adil, juga semakin mengkhawatirkan.

Ruang akademik seharusnya menjadi ruang bebas untuk bertukar pikiran dan mengkritisi kebijakan tanpa rasa takut. Jika pengamat dan dosen tidak boleh bersuara hanya karena pernah terlibat dalam proyek pemerintah, maka independensi akademik akan hancur.

Kritik adalah tanda cinta terhadap negara. Negara yang membungkam suara rakyatnya sedang menggali liang kehancurannya sendiri. Menteri seharusnya menjawab masalah, bukan menyerang pemberi kabar. Karena ketika pengamat dikriminalisasi, akademisi dibungkam, dan pengkritik dituduh korup, maka yang sebenarnya dipertanyakan adalah legitimasi kekuasaan itu sendiri.

Jabatan adalah amanah, bukan alat membalas kritik.