Perdagangan Produk Palsu di Mangga Dua Menjadi Sorotan Amerika Serikat, Merek-Merek Ternama Jadi Korban
Mangga Dua dalam Pengawasan AS Akibat Peredaran Barang Palsu
Pemerintah Amerika Serikat melalui United States Trade Representative (USTR) menyoroti keberadaan Pasar Mangga Dua di Jakarta sebagai salah satu pusat peredaran barang palsu. Hal ini terungkap dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis USTR pada akhir Maret 2025. Laporan ini memuat daftar hambatan perdagangan dari 59 negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia.
USTR menyoroti bahwa meskipun Indonesia telah berupaya meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), kekhawatiran signifikan masih dirasakan oleh pelaku usaha AS. Pembajakan hak cipta dan pemalsuan merek dagang, baik secara daring maupun di pasar fisik seperti Mangga Dua, menjadi perhatian utama. Pasar Mangga Dua sendiri telah masuk dalam daftar Tinjauan Pasar Terkenal untuk Pemalsuan dan Pembajakan Tahun 2024.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengakui adanya laporan dari sejumlah merek global terkait penjualan barang palsu di Pasar Mangga Dua. Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag, Moga Simatupang, laporan tersebut diterima dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (KI) Kementerian Hukum dan HAM. Beberapa merek yang melaporkan antara lain:
- LEGO (mainan)
- Comotomo (botol dot bayi)
- Mimi White (lotion)
- Louis Vuitton (tas wanita, dompet, dan sabuk)
- Christian Louboutin (sepatu wanita)
- Tokai (pemantik api)
- Orion Choco Pie (makanan/snack)
- Honda (suku cadang dan genset)
Moga Simatupang menjelaskan bahwa Kemendag telah berkoordinasi dengan Ditjen KI dan membentuk intellectual property task force untuk menindaklanjuti isu ini. Ia menegaskan bahwa penindakan terhadap barang palsu hanya dapat dilakukan berdasarkan laporan dari pemilik merek yang merasa dirugikan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Menanggapi pertanyaan mengenai perlindungan konsumen yang tidak sadar membeli barang palsu, Moga berpendapat bahwa permintaan terhadap barang bajakan tetap ada karena konsumen juga menyukai produk tiruan tersebut. Ia juga menyatakan bahwa peraturan saat ini hanya berlaku bagi pemilik merek dan pelaku pemalsuan, bukan bagi konsumen yang membeli produk palsu. Pernyataan ini menuai kontroversi karena seolah menyalahkan konsumen atas peredaran barang palsu.
Kasus ini menyoroti kompleksitas permasalahan barang palsu di Indonesia, yang tidak hanya merugikan pemilik merek, tetapi juga berpotensi merugikan konsumen. Upaya penegakan hukum yang lebih komprehensif dan peningkatan kesadaran konsumen diperlukan untuk mengatasi masalah ini.