Trump Geram: Penolakan Zelensky atas Klaim Rusia di Krimea Hambat Perdamaian

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara terbuka mengecam Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, atas penolakannya untuk mengakui kendali Rusia atas Krimea. Trump berpendapat bahwa sikap Zelensky ini menjadi penghalang utama dalam upaya mengakhiri konflik berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina.

Trump, yang dikenal dengan gaya diplomasinya yang unik, menyatakan bahwa kesepakatan damai sebenarnya sudah berada dalam jangkauan. Namun, ia menilai Zelensky ternyata lebih sulit diajak bernegosiasi daripada yang diperkirakan. Menurut Trump, penolakan Zelensky terhadap persyaratan yang diajukan AS hanya akan memperpanjang apa yang disebutnya sebagai "medan pembantaian".

"Saya pikir kita sudah sangat dekat dengan kesepakatan dengan Rusia. Kita hanya perlu mendapatkan kesepakatan dengan Zelensky," ujar Trump kepada wartawan, seraya menambahkan bahwa berurusan dengan Zelensky terbukti lebih rumit dari yang ia bayangkan.

Pernyataan Trump ini muncul setelah Wakil Presiden JD Vance menyampaikan pandangan pemerintah AS mengenai solusi damai potensial. Visi tersebut mencakup kemungkinan Rusia mempertahankan kendali atas sebagian besar wilayah Ukraina yang telah didudukinya, termasuk Krimea. Usulan ini ditolak mentah-mentah oleh Zelensky, yang berpegang teguh pada konstitusi Ukraina dan menolak menyerahkan wilayahnya.

Reaksi Trump terhadap penolakan Zelensky sangat keras. Ia menuduh presiden Ukraina tersebut sebagai pihak yang "menghasut" dan mengambil posisi yang sangat merugikan perundingan damai dengan Rusia. Trump bahkan memperingatkan Zelensky bahwa ia memiliki dua pilihan: mencapai perdamaian atau menghadapi pertempuran selama tiga tahun lagi sebelum kehilangan seluruh negaranya.

Trump berpendapat bahwa Krimea, semenanjung strategis di Laut Hitam dengan fasilitas angkatan laut yang penting bagi Rusia, "telah hilang bertahun-tahun lalu" dan bahkan tidak layak untuk diperdebatkan.

Zelensky segera merespons kritik Trump dengan mengunggah "deklarasi Krimea" tahun 2018 oleh Menteri Luar Negeri AS saat itu, Mike Pompeo. Deklarasi tersebut menegaskan bahwa Washington menolak upaya Rusia untuk mencaplok Krimea, sebuah langkah yang jelas ditujukan untuk menunjukkan inkonsistensi dalam kebijakan AS di bawah pemerintahan yang berbeda.

Vance kemudian memberikan penjelasan lebih rinci tentang rencana perdamaian yang diusulkan AS, yang intinya adalah "membekukan batas teritorial pada tingkat tertentu yang mendekati keadaan saat ini." Vance mengisyaratkan bahwa baik Ukraina maupun Rusia harus rela menyerahkan sebagian wilayah yang saat ini mereka kuasai.

Namun, Vance tidak merinci wilayah mana yang harus diserahkan oleh Rusia, yang merebut Krimea pada tahun 2014 dan melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina pada tahun 2022. Ia hanya menekankan bahwa sudah saatnya bagi Moskow dan Kyiv untuk mencapai kesepakatan, atau Amerika Serikat akan menarik diri dari proses negosiasi.

Rencana yang diusulkan Vance mengisyaratkan bahwa negosiasi akan mengarah pada pembagian wilayah sengketa. Detail lebih lanjut tentang bagian yang akan dinegosiasikan tetap tidak diungkapkan, tetapi menekankan bahwa Amerika Serikat mungkin menarik dukungan jika tidak ada solusi yang disepakati bersama.