Indonesia Ajukan Lima Strategi untuk Redam Kenaikan Tarif Impor AS
Pemerintah Indonesia sedang berupaya keras untuk menghindari dampak negatif dari kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS). Menanggapi tarif impor sebesar 32 persen yang diberlakukan AS terhadap produk-produk asal Indonesia, pemerintah telah mengajukan lima opsi negosiasi dengan harapan dapat mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan bagi kedua negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi mitigasi risiko ekonomi global yang saat ini tengah menghadapi dinamika yang tinggi. "Pemerintah akan terus aktif melakukan mitigasi awal, termasuk melalui negosiasi dan komunikasi intensif dengan pemerintah AS," ungkap Sri Mulyani dalam keterangan tertulisnya.
Kelima poin negosiasi yang ditawarkan Indonesia kepada AS meliputi:
- Penyesuaian Tarif Bea Masuk Selektif: Indonesia menawarkan untuk meninjau kembali tarif bea masuk untuk produk-produk tertentu yang berasal dari AS.
- Peningkatan Impor Produk Strategis dari AS: Indonesia bersedia meningkatkan volume impor komoditas strategis dari AS, seperti minyak dan gas, mesin-mesin industri, peralatan teknologi canggih, serta produk-produk pertanian yang belum mampu diproduksi secara lokal.
- Reformasi Fiskal yang Berkelanjutan: Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melanjutkan reformasi fiskal, termasuk di bidang perpajakan dan kepabeanan, guna menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.
- Harmonisasi Hambatan Non-Tarif: Indonesia bersedia meninjau dan menyesuaikan berbagai hambatan non-tarif, seperti aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), kuota impor, serta melakukan deregulasi teknis di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah.
- Pengendalian Lonjakan Impor: Indonesia akan menerapkan langkah-langkah pengendalian lonjakan barang impor, termasuk penggunaan kebijakan trade remedies secara responsif dan terukur.
Sri Mulyani menekankan bahwa kebijakan dan reformasi yang diusulkan ini bertujuan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional, menjaga stabilitas makroekonomi, dan memastikan keberlanjutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sebagai informasi tambahan, pemerintah AS mengumumkan kebijakan tarif resiprokal pada tanggal 2 April lalu. Indonesia termasuk dalam daftar negara yang berpotensi terdampak oleh kebijakan ini, dengan potensi kenaikan tarif impor hingga 32 persen. Beberapa negara merespons kebijakan ini dengan tindakan balasan, seperti yang dilakukan oleh Tiongkok dengan menerapkan tarif balasan. Namun, Indonesia, bersama dengan sejumlah negara lainnya, memilih jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi yang konstruktif.
Pemerintah AS kemudian memberikan penundaan penerapan tarif resiprokal selama 90 hari bagi negara-negara yang tidak melakukan tindakan retaliasi, termasuk Indonesia. Meskipun demikian, tarif dasar universal sebesar 10 persen tetap berlaku. Pemerintah Indonesia berharap melalui negosiasi yang konstruktif, dapat mencapai kesepakatan yang adil dan saling menguntungkan dengan AS, serta meminimalkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional.