Krisis Komunikasi Publik di Pemerintahan: Antara Harapan dan Realita

Kondisi ekonomi yang penuh tantangan, inflasi yang meresahkan masyarakat, nilai tukar rupiah yang melemah, serta ketegangan geopolitik global, menuntut para pemimpin untuk memberikan arahan yang jelas dan solusi yang konkret. Namun, pemerintahan saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menghadapi kritik tajam terkait dengan kualitas komunikasi publik yang dinilai kurang memadai.

Alih-alih memberikan kejelasan dan kepastian, komunikasi yang tersendat justru menimbulkan kesan bahwa para pemimpin tidak sepenuhnya memahami permasalahan yang dihadapi bangsa. Hal ini terlihat ketika harga pangan melonjak, respons yang diberikan cenderung bersifat teknokratis dan kurang menyentuh realitas yang dialami masyarakat. Pernyataan-pernyataan normatif tentang kemandirian ekonomi dan nasionalisme, meskipun terdengar patriotik, tidak memberikan solusi yang substantif.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Ketika pesan yang disampaikan oleh para pemimpin tidak relevan dengan kebutuhan dan pengalaman masyarakat, maka muncul kesenjangan antara elite dan rakyat. Komunikasi politik seharusnya menjadi sarana untuk mengajak masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan, namun yang terjadi justru sebaliknya, yaitu pertunjukan simbolik yang tidak berdampak signifikan.

Lemahnya komunikasi publik juga tercermin dari respons para menteri terhadap berbagai permasalahan yang muncul. Pernyataan-pernyataan yang meremehkan masalah atau menyalahkan pihak lain tanpa memberikan solusi konkret semakin memperburuk situasi. Hal ini menunjukkan adanya defisit kognitif, yaitu ketidakmampuan dalam memahami persoalan secara mendalam dan meresponsnya dengan empati dan keberanian moral.

Untuk mengatasi krisis komunikasi ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang berfokus pada revitalisasi komunikasi publik, reformulasi tim komunikasi presiden, pelatihan komunikasi strategis bagi seluruh anggota kabinet, peningkatan literasi kebijakan publik, dan penguatan sistem deliberatif dalam pengambilan keputusan. Komunikasi publik harus berlandaskan pada data, konteks faktual, dan sensitivitas sosial. Tim komunikasi presiden harus mampu menjembatani antara kebijakan negara dan harapan masyarakat, serta menyalurkan informasi secara jernih, jujur, dan membangun kepercayaan. Pelatihan komunikasi strategis bagi seluruh anggota kabinet juga menjadi agenda mendesak.

Selain itu, peningkatan literasi kebijakan publik di kalangan pemimpin harus menjadi prioritas. Para pejabat tinggi negara harus mampu menjelaskan substansi kebijakan, menyusun argumen rasional, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dengan presisi. Pemerintah juga perlu memperkuat sistem deliberatif dalam pengambilan keputusan dengan membuka ruang dialog yang sehat dan setara dengan berbagai pihak.

Hanya dengan langkah-langkah tersebut, krisis komunikasi dan krisis legitimasi yang tengah dihadapi dapat diatasi dengan baik. Defisit kualitas kognitif adalah cermin dari negara yang dikelola tanpa refleksi, tanpa kepekaan, dan tanpa arah. Jika masalah ini tidak segera diatasi, maka demokrasi yang diperjuangkan akan terancam menjadi sekadar panggung sandiwara politik. Rakyat akan menilai apakah pemimpin mereka layak dipercaya atau hanya pandai bersuara.