Polemik VMS: Menteri Kelautan Sebut Protes Diduga Bermotif Bisnis, Bukan dari Nelayan Kecil
Polemik VMS: Menteri Kelautan Sebut Protes Diduga Bermotif Bisnis, Bukan dari Nelayan Kecil
Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Sakti Wahyu Trenggono, menanggapi gelombang penolakan terhadap penerapan Vessel Monitoring System (VMS) atau sistem pemantauan kapal yang belakangan ini mencuat. Trenggono menyatakan bahwa protes tersebut tidak berasal dari nelayan kecil, melainkan disinyalir didorong oleh kepentingan pengusaha.
Dalam rapat bersama Komisi IV DPR RI, Trenggono menjelaskan bahwa nelayan tradisional yang menggunakan kapal kecil dan tidak mempekerjakan orang, justru tidak mempermasalahkan kebijakan VMS. Pemerintah, kata Trenggono, selama ini telah memberikan berbagai bantuan kepada nelayan kecil, seperti alat tangkap, subsidi bahan bakar minyak (BBM), hingga bantuan kapal.
"Nelayan ini sebetulnya, kalau yang namanya nelayan itu benar-benar nelayan daerah, nelayan tradisional. Mereka menggunakan kapal kecil, tidak mempekerjakan orang, dan kalau disurvei semuanya tidak ada yang protes," ujar Trenggono.
Lebih lanjut, Menteri Trenggono menegaskan bahwa pemerintah tidak mewajibkan penggunaan VMS bagi nelayan kecil. Justru, KKP sedang berupaya mencari cara agar VMS dapat diberikan sebagai bantuan kepada nelayan. Ia menjelaskan bahwa KKP sedang merancang skema pembiayaan VMS dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diperoleh dari pelaku usaha perikanan.
Trenggono juga menyoroti manfaat signifikan dari VMS, antara lain memantau pergerakan kapal dan mempermudah operasi penyelamatan (SAR) jika terjadi kecelakaan di laut. Dengan VMS, lokasi kapal dapat dideteksi dengan cepat jika terjadi badai atau situasi darurat lainnya.
"Kita sedang merancang, mau mencari cara gimana caranya agar kemudian apabila PNBP ini kita bisa dapatkan dengan baik dari para pelaku usaha, itu kita bisa berikan bantuan kepada mereka untuk dipasang VMS," ungkap Trenggono.
Menteri Trenggono menduga bahwa protes terhadap VMS digerakkan oleh pengusaha yang mengatasnamakan nelayan kecil. Menurutnya, pemilik kapal dapat memanfaatkan VMS untuk memantau aktivitas kapal, termasuk lokasi penangkapan ikan dan hasil tangkapan. Ia heran mengapa ada pihak yang keberatan dengan VMS, padahal biayanya relatif terjangkau.
"Pemilik kapal itu bisa mengetahui bahwa kapal ini dia melaut ke mana, hasilnya berapa. Tapi ini protes. Menggunakan nelayan kecil dan diajak, seolah-olah mereka nelayan kecil."
Sebelumnya, ratusan nelayan di Muara Angke menggelar aksi demonstrasi menolak kebijakan wajib VMS. Mereka menilai harga VMS yang mencapai Rp 16 juta sangat memberatkan. Kebijakan VMS sendiri telah digencarkan sejak beberapa tahun lalu, dan kini kembali diterapkan secara tegas. Nelayan yang belum memiliki VMS dilarang beroperasi.
Nunung, Pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) sekaligus Ketua RW 21, Pluit, menjelaskan bahwa harga VMS menjadi kendala utama bagi nelayan untuk mematuhi kebijakan tersebut. Ia menambahkan bahwa penghasilan nelayan saat ini tidak menentu, sementara biaya operasional seperti BBM dan perbekalan lainnya terus meningkat.
"Kalau kami harus membeli VMS, itu benar-benar berat. Karena penghasilan aja tidak mencukupi, seperti BBM, perbekalan lainnya sudah melonjak. Itu bagaimana?" ungkap Nunung.
Berikut adalah poin-poin utama yang menjadi sorotan:
- Penolakan VMS oleh nelayan Muara Angke.
- Harga VMS yang dianggap mahal (Rp 16 juta).
- Penerapan kebijakan VMS yang menghambat operasional nelayan yang belum memiliki.
- Dugaan keterlibatan pengusaha dalam memprovokasi penolakan VMS.
- Rencana KKP untuk memberikan bantuan VMS kepada nelayan kecil.