Perjuangan Pendidikan Kartini: Dari Rumah Belajar Hingga Sekolah di Berbagai Kota

Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini, sebuah momen untuk mengenang jasa Raden Ajeng Kartini, seorang tokoh emansipasi wanita dan Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional dilakukan pada 2 Mei 1964, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964. Semangat dan perjuangannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, khususnya di bidang pendidikan, terus menginspirasi hingga saat ini.

Pada masanya, Kartini menyaksikan ketidaksetaraan gender yang begitu nyata. Perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam memperoleh pendidikan tinggi, menentukan pilihan hidup, dan berpartisipasi aktif dalam berbagai aspek kehidupan. Keterbatasan ini mendorong Kartini untuk berjuang mengubah keadaan tersebut.

Jejak perjuangan Kartini dalam dunia pendidikan, meski singkat karena usianya yang relatif muda (meninggal pada usia 25 tahun pada September 1904), sangatlah membekas. Sebelum berdirinya Sekolah Kartini secara formal, Kartini telah memulai upaya pendidikan bagi perempuan di lingkungan rumahnya. Ia membuka sebuah tempat belajar bagi gadis-gadis di sekitarnya, memberikan pelajaran dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Selain itu, ia juga mengajarkan berbagai keterampilan praktis seperti memasak, menjahit, dan membuat kerajinan tangan. Tempat belajar sederhana ini menjadi cikal bakal dari cita-cita Kartini untuk memajukan pendidikan kaum perempuan.

Setelah Kartini wafat, semangat perjuangannya diteruskan oleh tokoh-tokoh lain. Van Deventer, seorang tokoh politik etis, mendirikan Yayasan Kartini pada tahun 1912 sebagai bentuk penghormatan terhadap cita-cita dan dedikasi Kartini. Yayasan ini kemudian berperan penting dalam pendirian Sekolah Kartini di berbagai kota di Jawa. Sekolah Kartini pertama didirikan di Semarang pada tahun 1913, dan selanjutnya menyusul pendirian sekolah serupa di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Sekolah-sekolah ini menjadi wadah bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan formal dan mengembangkan potensi diri.

Pemikiran-pemikiran Kartini mengenai pentingnya pendidikan bagi perempuan tertuang dalam surat-suratnya yang kemudian dibukukan dengan judul "Door Duisternis tot Licht" atau "Habis Gelap Terbitlah Terang". Dalam surat-suratnya, Kartini menekankan bahwa perempuan perlu diberikan pendidikan dan kebebasan agar dapat maju dan berperan aktif dalam masyarakat. Ia juga menyoroti peran penting seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya, yang menurutnya membutuhkan wawasan yang luas agar dapat memberikan pendidikan yang baik.

Keluarga Kartini sendiri merupakan keluarga yang berpendidikan. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sostroningrat, adalah seorang bupati Jepara yang mendapatkan pendidikan Barat. Kartini juga memperoleh pendidikan formal di Europese Lagere School (ELS), namun tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena tidak diizinkan oleh ayahnya. Meskipun demikian, keterbatasan ini tidak menghalangi semangat Kartini untuk terus belajar dan mengembangkan diri, serta memperjuangkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan.

Surat-surat Kartini pertama kali diterbitkan pada tahun 1911. Pada tahun 1923, kumpulan surat tersebut dicetak untuk keempat kalinya dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia, Inggris, Arab, dan Prancis, sehingga pemikiran-pemikiran Kartini dapat menjangkau khalayak yang lebih luas.

Perjuangan Kartini telah membuka jalan bagi perempuan Indonesia untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Semangatnya terus menginspirasi generasi penerus untuk terus berjuang demi kemajuan bangsa dan kesetaraan gender.