Dugaan Korupsi Pertamina: Desakan Pansus dan Investigasi Independen Menggema di Senayan

Dugaan Korupsi Pertamina: Desakan Pansus dan Investigasi Independen Menggema di Senayan

Kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan minyak di lingkungan PT Pertamina, yang turut menyeret isu pencampuran bahan bakar Pertamax secara ilegal, telah memicu gelombang desakan dari berbagai pihak, termasuk DPR dan MPR. Polemik ini bermula dari penetapan sembilan tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) atas dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. Kejagung menemukan bukti bahwa PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite dengan harga Pertamax, kemudian mencampurnya untuk dijual sebagai Pertamax. Praktik ini, menurut Kejagung, jelas melanggar aturan dan merugikan keuangan negara.

Di tengah kontroversi ini, pimpinan Komisi XII DPR RI tengah mempertimbangkan pembentukan panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki secara mendalam kasus tersebut. Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menjelaskan bahwa pertimbangan pembentukan pansus didorong oleh besarnya dampak kasus ini terhadap masyarakat luas dan kompleksitas masalah yang melibatkan berbagai pihak. Menurutnya, dorongan pembentukan pansus juga datang dari berbagai komisi lain di DPR, menandakan keprihatinan yang meluas atas kasus ini. Komisi XII juga berencana memanggil Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) untuk dimintai keterangan mengenai kualitas BBM yang didistribusikan ke masyarakat. Langkah ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat dan objektif terkait mutu BBM yang dikonsumsi publik.

Sementara itu, MPR RI mendesak dilakukannya investigasi independen untuk mengungkap kebenaran isu pencampuran bahan bakar Pertamax secara ilegal. Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, menekankan perlunya dibentuk tim investigasi yang terdiri dari pakar independen dan kredibel dari kalangan akademisi dan institusi ternama. Tim ini diharapkan mampu memberikan hasil penyelidikan yang objektif, transparan, dan dapat menjawab keresahan publik. Menurut Eddy, keresahan masyarakat sangat beralasan mengingat adanya alat bukti yang ditemukan penyidik, sementara Pertamina sendiri membantah tuduhan tersebut. Investigasi independen dinilai penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Pertamina, yang saat ini tengah tergerus akibat kasus ini.

Lebih lanjut, Eddy Soeparno juga menyoroti pentingnya penguatan pengawasan internal di Pertamina untuk mencegah terulangnya praktik korupsi. Ia menekankan perlunya peran aktif komisaris dalam pengawasan tersebut. Kasus ini, menurutnya, harus menjadi momentum perbaikan tata kelola distribusi BBM di Indonesia agar tidak merugikan masyarakat luas dan merusak kepercayaan terhadap BUMN.

Di sisi lain, Pelaksana Tugas Harian (Plh) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, membantah tuduhan pengoplosan BBM dalam rapat kerja bersama Komisi XII DPR RI. Ia menjelaskan bahwa penambahan aditif pada Pertamax merupakan praktik umum di industri minyak untuk meningkatkan kualitas, bukan pengoplosan dengan Pertalite. Namun, bantahan tersebut langsung dibantah oleh Kejagung yang menegaskan bahwa penyidik menemukan bukti pencampuran Pertalite atau BBM RON 88 dengan Pertamax (RON 92) dan dijual dengan harga Pertamax.

Kejagung juga akan melibatkan ahli untuk meneliti temuan tersebut guna memperkuat bukti yang ada. Perbedaan pernyataan antara Pertamina dan Kejagung semakin mempertegas urgensi penyelidikan yang transparan dan melibatkan pihak independen untuk mengungkap kebenaran dan keadilan dalam kasus ini. Publik menantikan hasil penyelidikan yang akan menentukan masa depan Pertamina dan kepercayaan masyarakat terhadap BUMN.