IKAPPI Tanggapi Tuduhan Produk Bajakan di Mangga Dua: Persentase Kecil, Pengawasan Lemah?

Pasar Mangga Dua kembali menjadi sorotan terkait peredaran produk bajakan. Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) memberikan tanggapan terhadap laporan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) yang menempatkan Pasar Mangga Dua sebagai salah satu pusat peredaran barang palsu di Indonesia.

Ketua Umum IKAPPI, Abdullah Mansuri, mengakui bahwa praktik penjualan produk bajakan masih terjadi di Pasar Mangga Dua. Namun, ia menegaskan bahwa skala peredaran barang ilegal tersebut relatif kecil, hanya sekitar 5-7% dari keseluruhan pedagang yang beroperasi di kawasan tersebut.

"Memang ada, tapi menurut saya tidak sampai 7%. Dari total katakanlah 1.000 pedagang di Mangga Dua, yang jual barang KW itu nggak sampai segitu," ujarnya.

Menurut Abdullah, pedagang yang menjual produk bajakan cenderung beroperasi di area pinggiran pasar atau bahkan secara sembunyi-sembunyi. Produk yang diperjualbelikan pun bervariasi, mulai dari tas mewah hingga jam tangan imitasi.

"Biasanya mereka ada di pinggiran atau tidak menampakkan diri. Produknya ya paling tas mewah KW, jam-jam, tapi itu juga kecil," jelasnya.

IKAPPI menekankan bahwa mayoritas pedagang di Pasar Mangga Dua menjual produk-produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Abdullah berpendapat, keberadaan produk bajakan disebabkan oleh adanya permintaan pasar dan kurangnya pengawasan yang efektif dari pemerintah.

"Ini soal pelanggaran hak cipta, saya membenarkan. Tapi karena tidak ada regulasi dan pengawasan yang maksimal, ini sudah terjadi bertahun-tahun dan akhirnya menjadi kewajaran. Segmennya kecil banget, jadi sulit bicara penertiban," papar Abdullah.

Ia menambahkan bahwa produk bajakan tidak mengancam keberadaan produk lokal, karena menyasar segmen konsumen yang berbeda. Abdullah juga menyebutkan bahwa Pasar Mangga Dua bukan hanya pasar tradisional, tetapi juga memiliki area pertokoan modern (ITC).

"Kami juga harus menjaga agar pedagang dengan segmen pembeli tertentu itu diakomodir, walaupun jumlahnya kecil. Saya rasa tidak banyak kok pedagang produk bajakan," kata Abdullah.

Sebelumnya, laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis USTR menyoroti hambatan perdagangan di 59 negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Dalam laporan tersebut, Indonesia masih masuk dalam Daftar Pantauan Prioritas terkait pelanggaran hak kekayaan intelektual.