Urgensi Revisi KUHAP: Perlindungan Hukum dan Keadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu

markdown Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi krusial di tengah dinamika hukum yang berkembang, di mana pengalaman praktis dan budaya hukum memegang peranan penting selain logika formal semata. Penggunaan KUHAP selama hampir setengah abad telah memunculkan berbagai permasalahan serius, termasuk praktik intimidasi, diskriminasi, dan kriminalisasi dalam proses hukum.

Urgensi Revisi KUHAP

Inisiatif legislatif untuk merevisi KUHAP dipandang relevan dengan tujuan utama untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi tersangka dan terdakwa. Hukum pidana formil seharusnya tidak hanya fokus pada penghukuman orang bersalah, tetapi juga melindungi individu yang tidak bersalah dari ancaman hukuman yang tidak adil. Idealnya, sistem peradilan pidana terpadu harus mengedepankan keadilan prosedural dan substansial sebagai pilar kepastian hukum, sehingga penerapan hukum pidana menjadi lebih terarah, jelas, dan tegas dengan adanya kontrol yang kuat.

Permasalahan dalam Penyelidikan dan Penyidikan

Salah satu titik krusial adalah hubungan antara penyelidikan dan penyidikan dengan penuntutan. RUU KUHAP berupaya mengatasi potensi rekayasa alat bukti dan pemenuhan unsur delik yang kerap terjadi pada tahap penyelidikan. Hak-hak tersangka yang selama ini minim diperluas secara rinci, termasuk pendampingan advokat sejak awal pemeriksaan, rekaman pemeriksaan untuk transparansi, dan akses ke berkas-berkas pemeriksaan. Dengan demikian, proses penyidikan diharapkan lebih transparan dan akuntabel, sehingga tindakan rekayasa alat bukti dapat dicegah.

Perlindungan Saksi Mahkota

RUU KUHAP juga mengatur mengenai kemungkinan peralihan status tersangka menjadi saksi mahkota untuk mengungkap keterlibatan pelaku lain, terutama dalam tindak pidana penyertaan yang sulit dibuktikan, seperti korupsi dan pencucian uang. Kepastian hukum mengenai kedudukan saksi mahkota menjadi penting dan strategis untuk mengungkap delik penyertaan, termasuk dalam menentukan peran masing-masing pelaku dan memastikan adanya kesengajaan ganda dan permufakatan jahat.

Parameter yang Jelas untuk Penahanan

Tindakan penahanan yang selama ini cenderung subjektif juga menjadi perhatian dalam RUU KUHAP. Pasal 93 Ayat (5) memberikan parameter yang jelas untuk penahanan, seperti mengabaikan panggilan penyidik dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, memberikan informasi tidak sesuai fakta, tidak bekerjasama dalam pemeriksaan, menghambat proses pemeriksaan, dan mempengaruhi saksi untuk tidak memberikan keterangan yang sebenarnya. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan penahanan dilakukan berdasarkan alasan yang objektif dan terukur.

Keadilan Restoratif sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

KUHAP dirancang untuk memastikan bekerjanya hukum pidana materiel yang berkepastian hukum, berkeadilan, dan memberikan kemanfaatan bagi kepentingan hukum negara, masyarakat, dan individu. RUU KUHAP mengakomodasi kepentingan hukum individu melalui penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif, yang menjamin pemulihan dan perdamaian.

Keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dipandang memberikan kemanfaatan bagi kepentingan hukum itu sendiri. Praktik ini telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan pedoman kejaksaan, kepolisian, dan Mahkamah Agung. KUHP baru juga menganut doktrin dualistik yang memisahkan perbuatan (actus reus) dan kesalahan (mens rea), sehingga perdamaian melalui keadilan restoratif dapat menghilangkan kesalahan sebagai unsur subjektif.

Kontroversi Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Usulan mengenai Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) menjadi perdebatan dalam RUU KUHAP. Keberadaan HPP yang dimaksudkan untuk menggantikan praperadilan dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana terpadu. Kewenangan HPP untuk menentukan sah atau tidaknya penetapan status tersangka dan tindakan penyidik dikhawatirkan dapat mengganggu paradigma pemenuhan unsur-unsur delik oleh penyidik dan pembuktian oleh hakim di persidangan.

Secara teknis, memasukkan HPP dalam RUU KUHAP dapat memindahkan masalah dan menimbulkan masalah baru. Penilaian status tersangka dan tindakan penahanan seharusnya fokus pada kejelasan dan pengetatan persyaratan, bukan pada siapa yang berhak menentukan. Kondisi hakim yang ditangkap dalam berbagai kasus korupsi dan suap juga dapat melemahkan kepercayaan publik jika HPP diberikan wewenang yang mengamputasi fungsi dan kewenangan penyidikan.

Oleh karena itu, keberadaan HPP dalam RUU KUHAP perlu dipertimbangkan secara matang agar tidak menimbulkan konflik norma dan kemudharatan yang lebih besar daripada kemashlahatan yang ingin dicapai. Mencegah mudharat lebih baik daripada mendapatkan mashlahat, sehingga pembaharuan hukum harus sejalan dengan asas dan prinsip hukum yang berlaku.