Mahasiswa Semarang Gugat UU Pemilu: Tuntut Domisili Caleg Minimal Lima Tahun di Dapil

Mahasiswa Semarang Gugat UU Pemilu: Tuntut Domisili Caleg Minimal Lima Tahun di Dapil

Delapan mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang mengajukan gugatan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan teregister dengan nomor perkara 7/PUU-XXIII/2025, yang terdaftar pada Senin, 3 Maret 2025. Inti gugatan ini mempersoalkan Pasal 240 ayat (1) huruf c UU Pemilu yang mengatur syarat calon legislatif (caleg). Para pemohon berpendapat pasal tersebut dinilai terlalu longgar dan tidak menjamin representasi yang memadai dari daerah pemilihan (dapil).

Para mahasiswa, yang terdiri dari Ahmad Syarif Hidayaatuullah, Arief Nugraha Prasetyo, Samuel Raj, Alvin Fauzi Khaq, Aura Pangeran Java, Akhilla Mahendra Putra, Arya Ashfihani HA, dan Isnan Surya Anggara, menganggap pasal tersebut bermasalah karena hanya mensyaratkan caleg bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka menilai hal ini membuka celah bagi calon yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang isu-isu lokal di dapil yang diwakilinya, karena tidak memiliki ikatan historis dan pengalaman hidup di wilayah tersebut. Sebagai alternatif, para pemohon mengusulkan agar pasal tersebut diubah sehingga mewajibkan caleg berdomisili di dapil yang dicaloninya sekurang-kurangnya lima tahun sebelum penetapan calon, dengan bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Dalam argumennya, para pemohon menekankan pentingnya keterwakilan yang autentik. Mereka berpendapat, anggota legislatif idealnya merupakan figur yang memahami secara mendalam permasalahan di dapilnya, karena memiliki pengalaman hidup dan tinggal di wilayah tersebut. Mereka mencontohkan ketentuan pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mensyaratkan calon berdomisili di dapil yang bersangkutan. Hal ini, menurut mereka, menunjukkan adanya upaya untuk memastikan keterkaitan yang kuat antara calon dan daerah yang diwakilinya. Para pemohon menilai, sistem saat ini justru memungkinkan masuknya caleg yang kurang memahami permasalahan lokal, yang berpotensi mengabaikan kepentingan masyarakat setempat. Lebih lanjut, mereka juga menyoroti persaingan yang tidak setara antara warga asli daerah dengan pendatang dalam merebut kursi legislatif.

Mahasiswa ini beranggapan bahwa pasal tersebut merugikan masyarakat asli dapil, karena harus bersaing dengan pendatang yang belum tentu memahami atau peduli dengan permasalahan di daerah tersebut. Dengan demikian, gugatan ini tidak hanya berupaya mengubah aturan teknis pencalonan, tetapi juga bertujuan untuk memperkuat representasi masyarakat di parlemen dan memastikan suara rakyat di dapil terwakili secara efektif dan bertanggung jawab. Putusan MK atas gugatan ini sangat dinantikan dan berpotensi berdampak signifikan terhadap peta politik dan proses pemilihan umum di Indonesia.

Pasal 240 ayat (1) huruf c yang digugat berbunyi: (1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Para pemohon mengusulkan perubahan menjadi: Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia asli dan harus memenuhi persyaratan: c. Bertempat tinggal di daerah pemilihan tempat mencalonkan diri sekurang-kurangnya 5 tahun sebelum penetapan calon dan dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP)