Perang Tarif AS-China: Aplikasi Teori Permainan dalam Strategi Konfrontasi Ekonomi
Eskalasi Tarif: Strategi Saling Balas dalam Perdagangan AS-China
Setelah membahas strategi game theory pada pemerintahan Donald Trump sebelumnya, khususnya terkait negara-negara kooperatif yang cenderung tidak membalas kenaikan tarif AS, kini fokus beralih ke negara-negara non-kooperatif, dengan China sebagai contoh utama. Pada peringatan Liberation Day (2 April 2025), Amerika Serikat mengenakan tarif timbal balik tambahan sebesar 34% pada impor dari China, sehingga total tarif minimum menjadi 54% setelah kenaikan sebelumnya pada Februari dan Maret 2025.
Sebagai respons, China mengambil tindakan konfrontatif dengan mengenakan tarif 34% pada impor barang dari Amerika Serikat, menandai peningkatan ketegangan dalam hubungan perdagangan. Selain itu, China menunda pembicaraan terkait penjualan TikTok ke Amerika Serikat, kelanjutan dari pemblokiran TikTok di Amerika Serikat pada Januari 2025. Pada 9 April 2025, Amerika Serikat memberikan tambahan tarif sebesar 50% kepada China, sehingga total tarif impor barang dari China ke Amerika Serikat menjadi 104%. Sebagai tindakan balasan, China menaikkan tarif tambahan sebesar 50%, sehingga tarif impor dari Amerika Serikat ke China menjadi 84%. Situasi ini menyerupai escalation game, di mana masing-masing pihak meningkatkan konfrontasi dengan harapan pihak lain akan menyerah terlebih dahulu. Namun, jika tidak ada batasan tarif, permainan ini dapat berakhir dengan hasil yang merugikan kedua belah pihak.
Amerika Serikat kembali menaikkan tarif impor menjadi 145%, dan China membalas dengan menaikkan tarif menjadi 125%. Seorang pejabat China berkomentar bahwa jika Amerika Serikat terus memberlakukan tarif yang lebih tinggi, hal tersebut tidak lagi masuk akal secara ekonomi dan akan menjadi bahan tertawaan dalam sejarah perekonomian dunia. Eskalasi ini meningkat karena serangan non-tarif yang dilakukan oleh China terhadap beberapa produk dari Amerika Serikat, yang berpotensi lebih merugikan Amerika Serikat. Dalam konteks ini, permainan ini dapat dikategorikan sebagai strategi saling balas (tit-for-tat strategy), di mana setiap aksi agresif dibalas dengan kekuatan yang setara. Strategi ini digunakan dalam permainan berulang (repeated game) untuk menyeimbangkan kekuatan. Kedua belah pihak mengukur kekuatan lawan dan melakukan tindakan balasan untuk mencegah dominasi berlebihan.
Daya Tawar dan Ego: Pendorong Utama Perang Dagang
Perang dagang pada dasarnya memberikan dampak buruk bagi kedua negara, namun ego menjadi pemicu utama eskalasi konflik. Ini mencerminkan Prisoner's Dilemma, di mana kerja sama akan lebih menguntungkan, tetapi kecurigaan mendorong strategi agresif yang merugikan keduanya. China saat ini memiliki daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Amerika Serikat mulai mengambil langkah rasional, seperti pengumuman pada 11 April 2025 bahwa tarif timbal balik tidak akan diberlakukan untuk produk elektronik. Ini dapat dianggap sebagai sinyal bahwa Amerika Serikat masih terbuka terhadap kompromi, terutama jika menyangkut kepentingan domestik.
Sebagai contoh, komponen manufaktur produk Apple berasal dari lebih dari 40 negara, dengan sebagian besar perakitan dilakukan di China. Tarif tinggi akan menyebabkan kenaikan harga produk Apple. CEO Apple, Tim Cook, menyatakan bahwa keputusan untuk mendirikan fasilitas manufaktur di China bukan hanya karena upah tenaga kerja yang rendah, tetapi juga karena ketersediaan tenaga kerja terampil dalam jumlah besar. Ini menunjukkan ketergantungan Amerika Serikat pada China. China juga memiliki skenario untuk memindahkan pusat produksi ke negara-negara di Asia Tenggara, di mana produk yang dihasilkan dapat dikenakan tarif yang lebih rendah saat diekspor ke Amerika Serikat.
China juga memegang surat utang pemerintah Amerika Serikat, meskipun kepemilikannya telah menurun dalam satu dekade terakhir. Faktor lain yang penting adalah dominasi China dalam rantai pasok mineral kritis, menguasai sekitar dua pertiga pasokan global. Meskipun China bergantung pada pasar Amerika Serikat untuk menjual produknya, Amerika Serikat tidak boleh meremehkan kapasitas dan daya tahan ekonomi China. Di sisi lain, China juga memiliki harapan besar kepada Amerika Serikat sebagai pasar strategis. Pendekatan game theory memberikan lensa analisis yang berguna untuk memahami dinamika interaksi antara kedua negara.
Dampak dan Prospek Perang Tarif
Permainan tarif yang berulang mencerminkan karakteristik repeated game dan strategi tit-for-tat, namun eskalasi berkepanjangan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi. Dampak buruk perang dagang telah banyak dibahas, termasuk efek rambatan terhadap negara-negara lain, termasuk negara berkembang. Tarif adalah alat yang digunakan oleh Presiden Trump untuk meningkatkan posisi tawar dalam negosiasi dengan negara lain. Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, menyatakan bahwa peningkatan tarif impor oleh Amerika Serikat dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan mendorong kenaikan inflasi.
Ketidakpastian dalam sistem perdagangan global menyebabkan volatilitas di pasar keuangan dan mengganggu rantai pasok internasional. IMF sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,3% untuk tahun 2025 dan 2026, namun proyeksi ini diperkirakan akan direvisi ke bawah akibat meningkatnya tensi perdagangan global. Bagi negara berkembang, turbulensi perlu diantisipasi.