Kenaikan Gaji Hakim Dinilai Tidak Cukup untuk Memberantas Praktek Suap di Lembaga Peradilan
Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, menyatakan bahwa peningkatan gaji hakim tidak serta-merta menghilangkan praktik suap di lingkungan peradilan. Menurutnya, meskipun pendapatan hakim ditingkatkan, godaan untuk menerima suap tetap ada selama sistem pengawasan dan mentalitas individu tidak diperbaiki.
"Peningkatan gaji hanyalah salah satu faktor. Tanpa perbaikan moral dan pengawasan yang ketat, praktik korupsi akan terus terjadi," tegas Hinca dalam keterangan tertulisnya. Ia juga mengkritik kinerja Komisi Yudisial (KY) yang dinilai gagal dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap hakim. "KY harus dievaluasi secara menyeluruh. Jika tidak mampu, lebih baik dibubarkan," tambahnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR lainnya, Rudianto Lallo, menyoroti kasus suap dalam penanganan perkara ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang melibatkan sejumlah hakim. Kasus ini, menurutnya, membuktikan masih maraknya praktik jual beli putusan di lembaga peradilan. "Ini adalah tamparan keras bagi institusi peradilan kita," ujar Rudianto. Ia mendesak Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas kasus ini dan menindak tegas semua pihak yang terlibat, termasuk jika ada petinggi Mahkamah Agung (MA) yang terlibat.
Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus suap ini. Mereka diduga menerima uang sebesar Rp 22,5 miliar untuk memengaruhi putusan perkara tiga perusahaan besar. Kasus ini semakin menguatkan dugaan bahwa praktik suap masih menjadi tantangan serius dalam sistem peradilan Indonesia.