Anggota DPR Soroti Kegagalan Pengawasan Hakim Pasca-Kasus Suap Rp22,5 Miliar
Kasus suap yang menjerat tiga hakim dan sejumlah pihak terkait dalam putusan lepas perkara korupsi ekspor minyak goreng memantik kritik pedas terhadap sistem pengawasan di lingkungan peradilan. Hinca Pandjaitan, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, secara tegas menyatakan bahwa mekanisme pengawasan saat ini gagal menjalankan fungsinya.
"Fakta bahwa hakim bisa menerima suap miliaran rupiah menunjukkan betapa lemahnya pengawasan internal," ungkap Hinca dalam konferensi pers. Ia menilai Komisi Yudisial (KY) tidak efektif dalam mengawasi perilaku hakim, bahkan mengusulkan evaluasi mendasar terhadap keberadaan lembaga tersebut. "Ketika pengawasan hanya sekadar formalitas, lebih baik kita berani mengakui kegagalan ini," tambahnya.
Berikut poin-poin kritis yang diangkat: - Mekanisme pengawasan yang lemah memungkinkan praktik suap terjadi - Kebutuhan sistem pengawasan independen di luar KY - Evaluasi terhadap peningkatan gaji hakim yang tidak otomatis mengurangi korupsi - Krisis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan
Hinca juga menyoroti perlunya reformasi sistem pengawasan profesi advokat. "Mengandalkan pengawasan internal organisasi advokat sama seperti meminta rubah menjaga kandang ayam," tegasnya. Ia mengusulkan pembentukan badan pengawas eksternal yang benar-benar independen.
Kasus ini melibatkan: - Tiga hakim (Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtaro, Djuyamto) - Ketua PN Jakarta Selatan (Muhammad Arif Nuryanta) - Dua pengacara (Marcella Santoso, Ariyanto) - Panitera muda PN Jakarta Utara (Wahyu Gunawan)
Total suap mencapai Rp22,5 miliar terkait putusan lepas dalam kasus korupsi ekspor bahan baku minyak goreng. Hinca menegaskan, skandal ini bukan kasus terisolasi melainkan puncak gunung es dari masalah sistemik di lingkungan peradilan.