Ketua PN Jaksel Dicokok Kejagung: Dari Hakim Biasa Hingga Terjerat Skandal Suap Vonis Lepas Minyak Goreng
Ketua PN Jaksel Dicokok Kejagung: Dari Hakim Biasa Hingga Terjerat Skandal Suap Vonis Lepas Minyak Goreng
Jakarta - Karier Muhammad Arif Nuryanta, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, yang sebelumnya tampak gemilang di dunia peradilan, kini harus berakhir tragis di balik jeruji besi. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkannya sebagai tersangka kasus suap terkait dengan putusan onslag atau lepas dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
Penangkapan Arif Nuryanta menjadi pukulan telak bagi citra lembaga peradilan. Bagaimana tidak, seorang ketua pengadilan yang seharusnya menjadi garda terdepan penegakan hukum, justru terjerat dalam praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Jejak Karier Mentereng yang Berakhir Tragis
Sebelum tersandung kasus ini, Arif Nuryanta memiliki rekam jejak yang cukup panjang dan bervariasi di dunia peradilan. Berikut adalah beberapa jabatan penting yang pernah diembannya:
- Calon Hakim Pengadilan Negeri Batang (Agustus 2001)
- Hakim Tingkat Pertama Pengadilan Negeri Tanah Grogot (13 September 2002)
- Hakim Tingkat Pertama pada Pengadilan Negeri Banjar Baru
- Hakim Tingkat Pertama pada Pengadilan Negeri Banjar Negara
- Hakim Tingkat Pertama pada Pengadilan Negeri Karawang (2007-2013)
- Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bangkinang (31 Agustus 2015)
- Ketua Pengadilan Negeri Bangkinang
- Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (17 Januari 2024)
- Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (6 November 2024)
Arif Nuryanta menduduki kursi Ketua PN Jakarta Selatan sejak 6 November 2024, setelah sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak 17 Januari 2024. Di PN Jakarta Selatan, ia tercatat memiliki golongan/pangkat Pembina Utama Muda dengan pendidikan terakhir strata dua.
Kronologi Kasus Suap Vonis Lepas
Kasus ini bermula dari vonis lepas yang diberikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada tiga terdakwa korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng pada 19 Maret 2025. Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Vonis ini sangat kontras dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta uang pengganti dengan nilai fantastis:
- Permata Hijau Group: Rp 937 miliar
- Wilmar Group: Rp 11,8 triliun
- Musim Mas Group: Rp 4,8 triliun
Kejagung kemudian melakukan penyelidikan mendalam dan menemukan bukti adanya praktik suap di balik vonis kontroversial tersebut. Marcella Santoso dan Ariyanto, yang merupakan pengacara dari tiga terdakwa korporasi, diduga memberikan suap sebesar Rp 60 miliar kepada Muhammad Arif Nuryanta melalui perantara bernama Wahyu Gunawan.
"Jadi MAN saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang saat ini yang bersangkutan menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terkait dengan aliran uang, penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan telah menerima, diduga menerima uang sebesar 60 miliar rupiah untuk pengaturan putusan agar putusan tersebut dinyatakan onslags," ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers.
Arif Nuryanta diduga menggunakan posisinya sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat saat itu untuk memuluskan vonis lepas bagi ketiga terdakwa korporasi tersebut. Atas perbuatannya, ia kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia peradilan Indonesia. Integritas hakim kembali dipertanyakan. Masyarakat berharap, kasus ini dapat diusut tuntas dan menjadi pelajaran bagi seluruh aparat penegak hukum untuk tidak bermain-main dengan keadilan. Selain itu, penting untuk dilakukan reformasi menyeluruh dalam sistem peradilan agar kasus serupa tidak terulang kembali di kemudian hari.