Industri Nikel Nasional Terancam: Pengusaha Minta Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan Royalti di Tengah Harga Global yang Anjlok

Industri Nikel Nasional Terancam: Pengusaha Minta Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan Royalti di Tengah Harga Global yang Anjlok

Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif royalti mineral dan batubara (minerba), termasuk nikel, mulai April 2025 menuai penolakan dari pelaku industri. Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menilai kebijakan ini berpotensi memukul industri nikel nasional yang tengah berjuang di tengah penurunan harga global dan peningkatan biaya produksi.

Ketua Umum FINI, Alexander Barus, mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait implementasi kebijakan tersebut. Menurutnya, kenaikan royalti akan semakin memberatkan industri nikel yang saat ini menghadapi tantangan ganda, yaitu:

  • Penurunan Harga Nikel Global: Harga nikel di pasar global telah mengalami penurunan signifikan, mencapai titik terendah sejak 2020. Hal ini dipicu oleh perlambatan ekonomi global dan ketegangan geopolitik, termasuk perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
  • Peningkatan Biaya Produksi Domestik: Industri nikel juga dibebani oleh kenaikan biaya produksi akibat kebijakan domestik, seperti peningkatan Upah Minimum Regional (UMR), implementasi program B40, aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan penerapan Global Minimum Tax mulai tahun 2025.

"Penyesuaian kebijakan fiskal, seperti kenaikan royalti, harus mempertimbangkan kondisi pasar saat ini yang sedang mengalami penurunan harga agar tidak membebani pelaku industri di tengah upaya menjaga keberlangsungan hilirisasi nikel nasional," ujar Alexander dalam keterangan resminya.

Harga Nikel Anjlok, Industri Tergencet

Alexander menjelaskan bahwa harga nikel global saat ini telah menyentuh level US$ 13.800 per ton, terendah sejak tahun 2020. Penurunan ini mencapai 16% dalam sebulan terakhir, dari sebelumnya US$ 16.400 per ton. Bahkan, dalam enam bulan terakhir, penurunan harga mencapai 23% dari sebelumnya US$ 17.900 per ton.

Penurunan harga ini diperparah oleh melambatnya ekonomi global dan ketegangan geopolitik, termasuk perang tarif antara Amerika Serikat dan China, yang secara langsung berdampak pada permintaan nikel dunia.

Harapan Industri kepada Pemerintah

FINI mendesak pemerintah untuk meninjau kembali rencana kenaikan royalti dan mempertimbangkan kondisi pasar saat ini. Mereka berharap pemerintah dapat mengedepankan kebijakan yang adaptif dan berpihak pada keberlanjutan industri nikel nasional, terutama dalam upaya menjaga hilirisasi nikel.

"Kami berkomitmen mendukung visi Presiden Prabowo dalam memperkuat industrialisasi dan kemandirian ekonomi nasional, dan mengajak pemerintah untuk mengedepankan kebijakan yang adaptif dan berpihak pada keberlanjutan industri strategis Indonesia," kata Alexander.

Klarifikasi Pemerintah

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa kenaikan royalti minerba akan berlaku efektif mulai minggu kedua April 2025. Pemerintah telah menyelesaikan revisi PP Nomor 26 Tahun 2022 dan melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha pertambangan.

Bahlil menjelaskan bahwa kebijakan kenaikan royalti akan mempertimbangkan fluktuasi harga komoditas. Jika harga nikel atau emas naik, akan ada penyesuaian royalti. Namun, jika harga tidak naik, tarif royalti akan tetap.

"Tapi itu ada range-nya kalau harganya nikel atau emas naik ada range tertentu, tapi kalau tidak naik. Ya kalau harga naik perusahaan dapat untung dong, masa kemudian kalau dapat untung negara tidak mendapat bagian. Kita mau win-win kita ingin pengusahanya baik, negaranya juga baik," ujar Bahlil.