Surplus Pangan Jadi Kartu AS Indonesia dalam Negosiasi Tarif dengan Amerika Serikat
Surplus Telur dan Beras: Amunisi Indonesia Tawar Tarif Impor AS
Jakarta, Indonesia – Di tengah tantangan perdagangan global, Indonesia menemukan celah untuk memperkuat posisinya dalam negosiasi tarif dengan Amerika Serikat (AS). Surplus komoditas pangan strategis, seperti telur dan beras, menjadi modal penting bagi pemerintah untuk melobi Washington.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, mengungkapkan bahwa surplus telur yang mencapai 288.700 ton per bulan atau setara lima miliar butir, dapat dimanfaatkan sebagai daya tawar dalam menghadapi tarif resiprokal yang diberlakukan AS. Pernyataan ini disampaikan di Kantor Kemenko Bidang Pangan, Jakarta, pada Selasa (8/4/2025).
"Presiden Joko Widodo telah lama mengantisipasi potensi masalah dalam perdagangan internasional. Beliau menekankan pentingnya kedaulatan pangan. Alhamdulillah, di saat negara lain kekurangan telur, kita justru surplus," ujar Zulkifli Hasan, yang akrab disapa Zulhas.
Diplomasi Intensif dan Diversifikasi Strategi
Merespons tarif yang dikenakan AS, Zulhas telah berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, untuk segera melakukan diplomasi intensif dengan pihak AS. Pemerintah Indonesia memiliki beberapa opsi strategis, termasuk meninjau kembali impor minyak, terigu, dan kedelai dari AS. Zulhas meyakini bahwa negosiasi yang konstruktif dapat mencapai solusi yang saling menguntungkan.
"Saya sudah berkoordinasi dengan Pak Menko Airlangga. Kita akan segera melakukan diplomasi. Banyak jalan yang bisa ditempuh. Kita impor minyak cukup besar, juga terigu dan kedelai. Ini bisa dibicarakan dan dinegosiasikan. Saya dengar Pak Menko Airlangga akan segera berangkat ke AS dalam satu atau dua hari ini," jelas Zulhas.
Swasembada Beras dan Jagung: Fondasi Ketahanan Pangan
Selain telur, Indonesia juga menunjukkan kemajuan signifikan dalam swasembada beras dan jagung. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga akhir April 2025, stok beras nasional mencapai 13,9 juta ton. Dengan konsumsi bulanan rata-rata 2,6 juta ton, Indonesia diperkirakan memiliki surplus beras sekitar 3,5 juta ton.
"Jika kebutuhan beras dalam negeri selama empat bulan adalah 10,4 juta ton, maka kita memiliki kelebihan 3,5 juta ton. Ini sesuai dengan rencana dan menunjukkan hasil nyata berkat kerja sama semua pihak, termasuk Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, Kementerian PUPR, pemerintah daerah, gubernur, dan bupati," kata Zulhas.
Fokus pada Peningkatan Kualitas dan Gizi
Zulhas menambahkan bahwa pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas irigasi untuk mendukung produksi pertanian yang berkelanjutan. Surplus beras yang ada saat ini belum termasuk potensi dari pengembangan lahan baru.
"Kalau irigasi semakin baik, kita akan terus mendampingi. Ini baru optimalisasi dan intensifikasi, belum termasuk pengembangan lahan baru. Saat ini, beras dan jagung sudah berlebih," ujarnya.
Lebih lanjut, Zulhas menekankan bahwa kecukupan pangan harus sejalan dengan peningkatan gizi masyarakat. Dengan gizi yang baik, Indonesia akan mampu bersaing di kancah global.
"Pangan tidak hanya tentang kuantitas, tetapi juga kualitas gizi. Kita harus meningkatkan gizi agar dapat bersaing dengan negara lain. Jika gizi kurang, akan ada stunting dan IQ rendah, sehingga sulit bersaing," pungkasnya.
Inisiatif ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk memperkuat ketahanan pangan dan memanfaatkan potensi surplus komoditas untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang lebih adil dengan negara-negara mitra.
- Daftar Komoditas Surplus:
- Telur: Surplus 288.700 ton per bulan
- Beras: Surplus 3.5 juta ton
- Jagung: Surplus (jumlah tidak disebutkan secara spesifik, namun dinyatakan berlebih)