Akademisi AS di Thailand Terjerat UU Lese Majeste: Kritik Monarki Berujung Tuntutan Pidana

Dosen Amerika Serikat Didakwa Menghina Raja Thailand

Thailand kembali menjadi sorotan internasional terkait penerapan Undang-Undang Lese Majeste, kali ini menjerat seorang akademisi asal Amerika Serikat, Paul Chambers. Dosen yang mengajar di Universitas Naresuan ini menghadapi tuntutan pidana atas dugaan penghinaan terhadap Raja Maha Vajiralongkorn.

Kasus ini terbilang langka karena jarang sekali warga negara asing terseret dalam jeratan hukum yang melindungi martabat monarki Thailand. Pihak kepolisian kerajaan mengajukan pengaduan setelah Chambers memberikan komentar dalam sebuah diskusi daring (webinar) pada tahun 2024 lalu. Dalam sesi tanya jawab tersebut, Chambers membahas hubungan antara militer Thailand dan monarki.

"Chambers dituduh melakukan tindakan yang menunjukkan kebencian atau penghinaan terhadap raja, ratu, pewaris takhta, atau wali kerajaan," demikian bunyi surat panggilan dari kepolisian Thailand seperti dilansir AFP.

Selain itu, Chambers juga dituduh menyebarkan informasi palsu yang berpotensi mengancam keamanan nasional. Jika terbukti bersalah, ia terancam hukuman penjara hingga 15 tahun sesuai dengan Pasal 112 KUHP Thailand yang mengatur tentang Lese Majeste.

Reaksi dan Implikasi

Chambers mengaku terkejut dan merasa terintimidasi dengan tuduhan tersebut. Ia menyatakan bahwa dirinya adalah warga negara asing pertama dalam beberapa tahun terakhir yang menghadapi tuntutan semacam ini. Kendati demikian, Chambers merasa bersyukur atas dukungan yang diterimanya dari rekan-rekan di universitas dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Kasus ini kembali memicu perdebatan mengenai kebebasan berekspresi di Thailand. Undang-Undang Lese Majeste sering kali dikritik oleh kelompok hak asasi manusia karena dianggap sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan monarki. Para pengamat menilai bahwa interpretasi yang luas terhadap undang-undang ini memungkinkan pihak berwenang untuk menindak siapa pun yang dianggap menghina atau merendahkan raja dan keluarga kerajaan.

Apa itu Lese Majeste?

Istilah "Lese Majeste" berasal dari bahasa Prancis yang berarti "kejahatan terhadap yang berdaulat." Secara umum, Lese Majeste merujuk pada tindakan atau ucapan yang dianggap menghina, merendahkan, atau mencemarkan nama baik kepala negara, penguasa, atau simbol-simbol negara. Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi martabat dan kehormatan kepala negara sebagai simbol persatuan dan stabilitas nasional.

Namun, penerapan Undang-Undang Lese Majeste sering kali menimbulkan kontroversi. Kritikus berpendapat bahwa undang-undang ini dapat disalahgunakan untuk membungkam perbedaan pendapat dan menghambat kebebasan berekspresi. Interpretasi yang luas terhadap undang-undang ini memungkinkan pemerintah untuk menindak individu atau kelompok yang menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah atau tindakan kepala negara.

Dampak Hukum Lese Majeste di Thailand

Di Thailand, Undang-Undang Lese Majeste memiliki sejarah panjang dan penerapan yang ketat. Pasal 112 KUHP Thailand menetapkan bahwa siapa pun yang menghina, mencemarkan nama baik, atau mengancam raja, ratu, pewaris takhta, atau wali raja dapat dihukum penjara hingga 15 tahun. Undang-undang ini sering kali digunakan untuk menindak aktivis politik, jurnalis, dan warga sipil yang mengkritik monarki.

Penerapan Undang-Undang Lese Majeste di Thailand telah menimbulkan berbagai dampak negatif. Undang-undang ini menciptakan iklim ketakutan dan menghambat kebebasan berekspresi. Banyak individu yang takut untuk menyampaikan pendapat mereka tentang isu-isu politik dan sosial karena khawatir akan dituntut berdasarkan undang-undang ini.

Selain itu, Undang-Undang Lese Majeste juga telah merusak citra Thailand di mata internasional. Organisasi hak asasi manusia seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah berulang kali mengkritik penerapan undang-undang ini dan menyerukan kepada pemerintah Thailand untuk mencabut atau merevisinya.

Kasus Paul Chambers menjadi contoh terbaru bagaimana Undang-Undang Lese Majeste dapat menjerat siapa saja, termasuk warga negara asing, yang dianggap mengkritik monarki Thailand. Kasus ini menyoroti pentingnya kebebasan berekspresi dan perlindungan hak asasi manusia di Thailand.