Menemukan Kembali Kenikmatan Ramadan: Refleksi atas Hukuman Spiritual
Menemukan Kembali Kenikmatan Ramadan: Refleksi atas Hukuman Spiritual
Ramadan, bulan penuh berkah, seharusnya menjadi momen istimewa bagi umat Muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di bulan ini, rahmat dan ampunan Allah dilimpahkan, memberikan kesempatan bagi setiap hamba untuk meraih kedekatan spiritual yang lebih erat. Namun, bagaimana jika Ramadan yang dijalani terasa hambar, tanpa sentuhan kenikmatan ibadah yang seharusnya menjadi ciri khasnya? Apakah mungkin kita sedang menghadapi semacam "hukuman" spiritual?
Makna Kedekatan dalam Ibadah
Inti dari setiap ibadah dalam Islam adalah taqarrub, yaitu upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ibadah seharusnya menjadi jembatan yang mempersempit jarak antara hamba dan Tuhannya, bukan malah menjauhkannya. Kedekatan ini adalah anugerah yang dijanjikan Allah bagi mereka yang menempuh jalan kedamaian (subulus salaam). Jika kita beribadah namun tidak merasakan kenikmatan di dalamnya, ada kemungkinan kita belum benar-benar dekat dengan Allah.
Kedekatan adalah fitrah manusia. Anak ingin dekat dengan orang tua, suami istri ingin saling berdekatan, murid ingin dekat dengan guru. Segala upaya dilakukan untuk mencapai dan mempertahankan kedekatan ini. Bahkan, pilihan-pilihan dalam hidup seringkali didasarkan pada faktor kedekatan, baik secara fisik maupun ideologis. Aneh rasanya jika seseorang memilih sesuatu karena alasan ketidakdekatan.
Dermawan: Jalan Menuju Kedekatan
Sebuah hadis dari Abu Hurairah RA menyebutkan bahwa orang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dan dekat dengan manusia. Kedekatan adalah anugerah tak ternilai. Iblis, yang dulunya berada di sisi Allah, dijauhkan karena kesombongannya. Kedekatan adalah maqam tertinggi bagi pencari cinta Allah (mahabbah Allah). Sebaliknya, ketidakdekatan adalah isyarat bencana.
Kenikmatan dalam Taqarrub
Bagaimana kedekatan bisa dirasakan sebagai anugerah? Yaitu dengan merasakan kenikmatan dalam taqarrub. Jika ibadah terasa hambar, perlu dievaluasi kembali konsep dan praktik taqarrub kita. Mungkin ada sesuatu yang tidak pas, sehingga ibadah tidak terasa nikmat.
Kisah Tamu Nabi Syu'aib
Rumi dalam Matsnawi mengisahkan tentang seorang tamu Nabi Syu'aib AS yang mengaku disayang Allah meskipun sering bermaksiat. Ia merasa maksiat tidak membuatnya sengsara. Nabi Syu'aib kemudian mendapat wahyu bahwa orang itu sebenarnya sedang dihukum. Hatinya sudah penuh dengan coretan dosa, sehingga tidak ada ruang untuk merasakan kehadiran Allah.
Kisah ini relevan dengan kehidupan kita saat ini. Ada orang yang karirnya lancar, rezekinya berlimpah, namun hubungannya dengan Tuhan tidak baik-baik saja. Ia rajin salat, umroh, berkurban, dan bersedekah, namun hatinya tetap kosong. Ia dihukum dengan tidak bisa merasakan kenikmatan dalam ibadahnya. Hukuman terberat bagi seorang pelaku ibadah adalah ketika ia tidak bisa merasakan kenikmatan, meskipun secara fiqih semua rukun dan syaratnya terpenuhi.
Mengapa Kenikmatan Itu Hilang?
Salah satu penyebabnya adalah kebiasaan bermaksiat di tengah-tengah taqarrub. Kita berikrar untuk menempuh jalan Allah, namun sering keluar rel. Kita bertaubat, lalu kembali bermaksiat. Lama-kelamaan, kita tidak lagi merasakan nikmat di jalan itu, dan akibatnya, tidak dekat dengan Tuhan.
Kerinduan dan Ketergantungan pada Ibadah
Salah satu isyarat bahwa seseorang sudah merasakan kenikmatan dalam ibadah adalah kerinduan untuk mengulang-ulangnya. Ia merasa "nyandu" dan ketergantungan. Ia merasa bersalah jika mengabaikan ibadah. Ia merasa tidak "wujud" tanpa ibadah. Ia terus bergantung kepada Allah (As-Shomad), berusaha tidak menjauh dari orbit ketuhanan.
Baginya, hanya ada dua pilihan: dekat dengan Tuhan melalui ibadah, atau dekat dengan selain Tuhan melalui kekuatan setan (quwwatun syaithoniyah) yang menjauhkannya dari Allah.
Waspadalah!
Jika Ramadan terasa hambar, hanya sebagai rutinitas untuk menggugurkan kewajiban, waspadalah! Terlebih bagi mereka yang membangkang dari kewajiban puasa dan mengutamakan nafsu daripada panggilan Tuhan. Ini bisa jadi isyarat hukuman. Jika Ramadanmu tiada nikmat, maka itu isyarat...!
Wallahu A'lamu Bishshowaab.