Ironi di Jantung Ibu Kota: Kisah Warga Tanah Tinggi Bertahan Hidup di Tengah Keterbatasan
Ironi di Jantung Ibu Kota: Kisah Warga Tanah Tinggi Bertahan Hidup di Tengah Keterbatasan
Tersembunyi di balik gemerlap dan hiruk pikuk Jakarta Pusat, hanya selemparan batu dari Istana Negara yang megah, terdapat sebuah realita kontras yang menghantam nurani. Di Kelurahan Tanah Tinggi, kehidupan sebagian warganya terhimpit dalam gang-gang sempit, terkurung dalam ruang hidup yang minim, dan berjuang untuk sekadar mendapatkan tempat beristirahat yang layak.
Kisah pilu ini adalah cerminan ketimpangan sosial yang masih menganga di ibu kota. Di tengah geliat pembangunan dan modernisasi, masih ada warga yang harus bergantian tidur karena sempitnya rumah, berdesakan dengan belasan anggota keluarga dalam satu ruangan, dan menggantungkan harapan pada uluran tangan pemerintah untuk mendapatkan hunian yang manusiawi.
Keterbatasan Ruang dan Impian yang Terpendam
Ady (41), seorang warga Tanah Tinggi, berbagi kisah tentang bagaimana ia dan 15 anggota keluarganya harus hidup dalam ruang berukuran 5 x 6 meter. Di malam hari, ia rela mengalah dan tidur di Pos RW agar keluarganya bisa beristirahat di rumah. Sistem tidur shift-shift-an, begitu ia menyebutnya, adalah realita yang harus dijalani.
"Alhamdulillah, saya sudah merasa kuat. Artinya kami saling bekerjasama saja sih bersama keluarga, saling pengertian saja," ujar Ady, berusaha tegar di tengah keterbatasan.
Indah (44), seorang tukang urut, juga memendam kerinduan akan ruang yang lebih luas. Namun, kondisi ekonomi keluarganya, dengan suami yang bekerja sebagai kuli bangunan lepas, membuatnya tak punya banyak pilihan. Impian untuk pindah kontrakan selalu terbentur masalah finansial.
"Planning pengin pindah ada, nanti duitnya belum ketemu rejekinya," kata Indah, dengan nada pasrah.
Perjuangan Mencari Nafkah di Tengah Kesulitan
Keterbatasan ekonomi menjadi akar dari permasalahan yang dihadapi warga Tanah Tinggi. Dalam ruang sempit yang mereka tinggali, segala aktivitas dilakukan di tempat yang sama, mulai dari memasak hingga tidur. Pakaian yang dicuci pun harus digantung di dalam rumah, menambah kelembapan dan kesempitan.
Robet, seorang warga RW 12, adalah contoh lain dari perjuangan mencari nafkah di tengah kesulitan. Tiga tahun terakhir, ia mengamen keliling Jakarta untuk menghidupi istri dan dua anaknya. Pekerjaan tetap sulit didapatkan karena tato yang menghiasi tubuhnya.
"Kalau dulu sih ngelamar kerja enggak susah, sekarang pengin sih nyari kerjaan tetap, tapi ya gitu kepentok di tato," keluhnya.
Upaya Pemerintah dan Kendala yang Menghadang
Ketua RW 12 Tanah Tinggi, Imron Buchori, mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 700 keluarga yang tinggal di sekitar 300 rumah di wilayahnya. Banyak keluarga harus berbagi tempat tinggal dalam satu rumah yang sama, bahkan ada yang sampai tujuh keluarga.
Pemerintah kota telah berupaya mengatasi masalah ini dengan rencana pembangunan rumah susun. Namun, kesepakatan antarwarga menjadi tantangan tersendiri. Karena membutuhkan lahan yang cukup luas, pemerintah perlu mengganti lahan warga untuk membangun rumah susun. Namun, kesepakatan antarwarga menjadi kendala utama.
"Yang paling parah itu dia, satu rumah bisa tujuh keluarga. Minimal tiga keluarga," kata Imron.
Menurut Imron, pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebenarnya memiliki niat baik untuk merelokasi warga dan membangun hunian yang lebih layak. Namun, secara teknis, pembangunan itu memerlukan lahan yang luas, dan kesepakatan tidak kunjung tercapai.
Harapan di Tengah Keterbatasan
Di tengah keterbatasan dan kesulitan hidup, warga Tanah Tinggi tetap menyimpan harapan. Mereka berharap pemerintah dapat memberikan solusi konkret untuk masalah hunian yang mereka hadapi. Mereka juga berharap dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik untuk meningkatkan taraf hidup.
Indah, sambil mengusap air matanya, mengungkapkan harapan untuk mendapatkan hunian yang layak dari pemerintah, meskipun itu berarti harus membayar sewa.
"Mau (mengikuti program hunian pemerintah), ya enggak apa-apa. Yang penting kami bisa bernaung saja, enggak kehujanan," ungkapnya.
Kisah warga Tanah Tinggi adalah potret buram ketimpangan sosial yang masih menghantui ibu kota. Diperlukan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini dan memberikan kehidupan yang lebih layak bagi warga yang terpinggirkan.