Ketidakjelasan Pembayaran Rp 175 Juta untuk Barang di Ruang Kerja Bupati Lumajang: Kisah Perbedaan Persepsi dan Sengketa Hukum

Ketidakjelasan Pembayaran Rp 175 Juta untuk Barang di Ruang Kerja Bupati Lumajang: Kisah Perbedaan Persepsi dan Sengketa Hukum

Pemerintah Kabupaten Lumajang tengah menghadapi permasalahan hukum terkait tunggakan pembayaran sejumlah barang yang digunakan di ruang kerja Bupati Lumajang. Total nilai barang yang belum terbayarkan mencapai Rp 175.579.460, meliputi 19 item yang ditempatkan di ruang kerja Bupati dan ruang tunggu. Permasalahan ini bermula pada tahun 2019, masa pemerintahan Bupati Thoriq dan Wakil Bupati Indah Amperawati, yang kini telah berakhir.

Sekretaris Daerah Kabupaten Lumajang, Agus Triyono, menjelaskan bahwa akar masalah terletak pada perbedaan interpretasi terkait pengadaan barang pada tahun tersebut. Awalnya, telah disusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk renovasi ruang kerja Bupati. Namun, Bupati saat itu meminta penggantian beberapa item barang yang tercantum dalam RAB. Pihak Bupati menganggap proses ini sebagai pengembalian (return) barang dan pertukaran dengan barang baru, sedangkan penyedia barang menganggapnya sebagai pengadaan barang baru yang terpisah dan membutuhkan pembayaran baru.

"Perbedaan pemahaman inilah yang menjadi inti permasalahan," ungkap Agus Triyono dalam keterangannya di Lumajang, Rabu (5/3/2025). "Pihak Bupati menganggapnya sebagai pertukaran barang, sementara penyedia barang menilai sebagai pengadaan baru. Hal ini menyebabkan munculnya tagihan baru yang hingga kini belum terselesaikan."

Agus Triyono mengaku baru mengetahui tunggakan pembayaran ini pada awal tahun 2024, setelah Bupati Thoriq dan Wakil Bupati Indah Amperawati menyelesaikan masa jabatan mereka. Pihak ketiga yang menyediakan barang baru menanyakan hal ini pada akhir tahun 2023 atau awal tahun 2024 kepada pemerintahan Penjabat Bupati. Selama masa jabatan Bupati Thoriq dan Wakil Bupati Indah, tidak pernah ada pertanyaan atau komplain terkait kekurangan pembayaran ini.

Pemerintah Kabupaten Lumajang telah menawarkan solusi kepada pihak ketiga, berupa pemberian proyek baru dengan keuntungan yang dapat digunakan untuk menutupi tunggakan pembayaran. Namun, tawaran ini ditolak oleh penyedia barang, yang kemudian melaporkan Pemkab Lumajang ke Aparat Penegak Hukum (APH).

Dengan demikian, Pemkab Lumajang menyatakan bahwa mereka tidak lagi dapat melakukan pembayaran atas barang-barang tersebut. Saat ini, barang-barang tersebut telah dibongkar dari ruang kerja Bupati dan pemerintah meminta penyedia barang untuk mengambilnya kembali dari Kantor Pemkab Lumajang. Nilai barang saat ini diperkirakan telah mengalami penyusutan, berbeda dengan nilai awal pengadaan dan perawatan yang mencapai sekitar Rp 200 juta.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya kejelasan dan transparansi dalam proses pengadaan barang pemerintah, serta perlunya mekanisme yang efektif dalam menyelesaikan sengketa terkait kontrak pemerintah. Perbedaan interpretasi dalam kontrak dan kurangnya komunikasi yang efektif antara pemerintah dan penyedia barang berpotensi menimbulkan masalah hukum yang kompleks dan merugikan kedua belah pihak.