Aksi Unjuk Rasa Menolak UU TNI di Surabaya Berujung Bentrokan

Unjuk Rasa UU TNI di Surabaya Memanas: Bentrokan Pecah di Depan Gedung Grahadi

Surabaya, Jawa Timur - Aksi demonstrasi yang digelar di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, pada Senin (24/3/2025), untuk menyuarakan penolakan terhadap Undang-Undang (UU) TNI, berujung ricuh. Ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian yang berjaga. Insiden ini menambah daftar panjang aksi unjuk rasa yang diwarnai kericuhan akibat perbedaan pendapat yang tak kunjung menemukan titik temu.

Kronologi Kejadian

Awalnya, aksi dimulai dengan damai sekitar pukul 16.00 WIB. Massa berkumpul di depan Taman Apsari, melakukan orasi dan menyuarakan aspirasi mereka. Para demonstran duduk melingkar, mendengarkan para orator yang bergantian menyampaikan kritik terhadap UU TNI yang dianggap kontroversial. Semangat kebersamaan dan harapan akan perubahan tampak jelas di wajah para peserta aksi.

Namun, suasana mulai berubah ketika massa bergerak menuju sisi timur Gedung Grahadi. Di lokasi ini, eskalasi ketegangan meningkat. Suara letusan petasan dan kembang api mulai terdengar dari arah demonstran. Semangat nasionalisme sempat berkobar ketika massa menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Pusaka," namun upaya ini tidak mampu meredakan tensi yang semakin memanas.

Salah satu orator menyampaikan orasi yang membakar semangat massa, menyerukan persatuan dan mengingatkan akan bahaya kembalinya rezim otoriter seperti Orde Baru. "Kita teriakan agar mereka yang ada di sana mendengar, agar dapat membela hak kebebasan rakyatnya. Hei masyarakat, apakah kita mau bangsa kita mengalami Orde Baru kembali?" serunya.

Bentrokan Tak Terhindarkan

Situasi semakin tak terkendali ketika beberapa botol air mineral dilemparkan ke arah Gedung Grahadi. Letusan kembang api semakin intens, memicu reaksi dari aparat kepolisian. Mobil water cannon dikerahkan untuk membubarkan massa. Tembakan air dari mobil water cannon diarahkan langsung ke arah demonstran, menyebabkan kepanikan dan mendorong massa untuk mundur.

Sebelumnya, ribuan massa aksi yang didominasi oleh peserta berpakaian serba hitam telah tiba di Gedung Grahadi sekitar pukul 14.30 WIB. Mereka berjalan kaki menuju lokasi demonstrasi dan langsung memarkirkan mobil komando di depan Taman Apsari. Aksi ini merupakan bagian dari rangkaian unjuk rasa yang digelar di berbagai kota untuk menentang UU TNI yang dianggap mengancam demokrasi dan kebebasan sipil.

Reaksi dan Implikasi

Kericuhan ini tentu menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai pihak. Pihak kepolisian menyatakan bahwa tindakan represif dilakukan karena massa dianggap telah bertindak anarkis dan mengganggu ketertiban umum. Sementara itu, pihak demonstran menuding aparat kepolisian telah bertindak represif dan melanggar hak asasi manusia.

Insiden ini menjadi catatan penting bagi pemerintah dan masyarakat sipil. Dialog yang konstruktif dan inklusif menjadi kunci untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan mencegah terjadinya kericuhan serupa di masa depan. Pemerintah perlu membuka diri terhadap kritik dan masukan dari masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan publik. Di sisi lain, masyarakat sipil juga perlu menyuarakan aspirasi secara bertanggung jawab dan menghormati hukum yang berlaku.

UU TNI sendiri menjadi sorotan karena dianggap memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada militer, yang dikhawatirkan dapat mengancam supremasi sipil dan demokrasi. Para pengkritik berpendapat bahwa UU ini dapat membuka celah bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi domain pemerintah sipil.

Kejadian di Surabaya ini menjadi pengingat bahwa demokrasi membutuhkan ruang dialog yang terbuka dan saling menghormati. Kekerasan bukanlah solusi, melainkan justru memperkeruh suasana dan menghambat proses pencapaian kesepahaman bersama.