DPR Gandeng Pemimpin Redaksi Bahas Kontroversi Larangan Siaran Langsung Persidangan dalam RUU KUHAP
DPR Gandeng Pemimpin Redaksi Bahas Kontroversi Larangan Siaran Langsung Persidangan dalam RUU KUHAP
Komisi III DPR RI mengambil langkah proaktif dengan mengundang para pemimpin redaksi media massa untuk berdiskusi mengenai usulan kontroversial terkait larangan siaran langsung persidangan yang tercantum dalam Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Langkah ini diambil sebagai upaya untuk menjaring masukan konstruktif dan menemukan formulasi terbaik dalam mengatur peliputan persidangan yang adil dan berimbang.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan pentingnya kolaborasi dengan media dalam menyusun aturan yang akan berdampak signifikan pada kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi. Menurutnya, forum diskusi ini akan menjadi wadah bagi para pemimpin redaksi untuk menyampaikan pandangan, kritik, dan saran terkait pengaturan peliputan persidangan yang ideal. Habiburokhman menekankan bahwa DPR sangat menghargai peran media sebagai pilar demokrasi dan mitra strategis dalam mengawal proses hukum yang transparan dan akuntabel.
"Kami ingin mendengar langsung dari para pemimpin redaksi tentang bagaimana mereka melihat isu ini, apa kekhawatiran mereka, dan bagaimana kita bisa bersama-sama merumuskan aturan yang tidak hanya melindungi integritas proses hukum, tetapi juga menjamin hak publik untuk tahu," ujar Habiburokhman dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (24/3/2025).
Usulan larangan siaran langsung persidangan sendiri menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat dan para pemangku kepentingan. Pihak yang mendukung berpendapat bahwa siaran langsung berpotensi mengganggu jalannya persidangan, mempengaruhi keterangan saksi, dan menciptakan tekanan psikologis bagi para pihak yang terlibat. Sementara itu, pihak yang menentang berargumen bahwa larangan tersebut merupakan bentuk pembungkaman kebebasan pers dan menghalangi hak publik untuk mengakses informasi yang relevan.
Advokat Juniver Girsang, yang mengusulkan larangan ini, menjelaskan bahwa tujuannya adalah untuk menjaga objektivitas dan kebenaran dalam proses persidangan. Ia khawatir bahwa siaran langsung dapat membuat saksi yang belum diperiksa mengubah keterangannya karena terpengaruh oleh pemberitaan atau opini publik.
"Bayangkan jika seorang saksi melihat di televisi bahwa kesaksiannya bertentangan dengan saksi lain, dia bisa saja mengubah keterangannya agar sesuai dengan ekspektasi publik atau pengacara," kata Juniver saat RDPU dengan Komisi III DPR RI.
Girsang menambahkan bahwa larangan siaran langsung tidak berarti bahwa media tidak boleh meliput persidangan sama sekali. Ia mengusulkan agar media tetap diperbolehkan meliput persidangan, tetapi dengan batasan-batasan tertentu, seperti tidak menyiarkan secara langsung tanpa izin pengadilan. Izin ini bisa diberikan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kepentingan publik, sensitivitas kasus, dan potensi dampak terhadap para pihak yang terlibat.
Komisi III DPR RI sendiri menyadari kompleksitas isu ini dan berupaya mencari solusi yang komprehensif dan mengakomodasi kepentingan semua pihak. Koordinasi dengan para pemimpin redaksi diharapkan dapat memberikan perspektif yang lebih luas dan mendalam, sehingga aturan yang dihasilkan nantinya dapat diterima oleh semua pihak.
Poin-poin yang akan dibahas dalam forum diskusi dengan pemimpin redaksi:
- Definisi dan batasan siaran langsung persidangan.
- Kriteria dan mekanisme pemberian izin siaran langsung oleh pengadilan.
- Sanksi bagi pelanggaran aturan peliputan persidangan.
- Pengaturan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam peliputan persidangan.
- Upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas proses hukum tanpa mengorbankan kebebasan pers.
Dengan melibatkan para pemimpin redaksi dalam proses perumusan RUU KUHAP, Komisi III DPR RI berharap dapat menciptakan aturan yang berkeadilan, transparan, dan selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi.