Kejati Bali Hentikan Penyelidikan Kasus Pungli Fast Track Imigrasi Ngurah Rai: Bukti Tak Cukup
Kejati Bali Hentikan Penyelidikan Kasus Pungli Fast Track Imigrasi Ngurah Rai: Bukti Tak Cukup
DENPASAR, BALI - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali secara resmi menghentikan penyelidikan kasus dugaan pungutan liar (pungli) terkait layanan fast track di Terminal Internasional Bandara I Gusti Ngurah Rai. Keputusan ini tertuang dalam Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) yang diterbitkan pada pertengahan Maret 2025.
Penghentian kasus ini menjadi sorotan, mengingat sebelumnya seorang pejabat Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai, dengan inisial HS, telah ditetapkan sebagai tersangka pada November 2023. HS diduga terlibat dalam praktik pungli yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Ketut Sumedana, menjelaskan alasan penerbitan SP3. Menurutnya, bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan penyidik tidak cukup kuat untuk melanjutkan perkara ini ke pengadilan. Sumedana menyatakan bahwa selama proses penyelidikan, penyidik hanya menemukan barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp 250.000.
"(Kasus pungli layanan fast track) belum layak untuk dibawa ke pengadilan. Daripada menggantung, lebih baik kita tutup (SP3) biar enggak ada beban," kata Sumedana di Kantor Kejati Bali pada Senin (24/3/2025).
Lebih lanjut, Sumedana mengungkapkan bahwa brankas yang diduga menjadi tempat penyimpanan uang hasil pungli juga tidak ditemukan berisi uang seperti yang diharapkan. Uang sebesar Rp 100 juta yang sempat disita ternyata berasal dari rekening pribadi tersangka.
"Tidak cukup bukti, tidak layak dilakukan persidangan karena cuma Rp 250.000. Kita berharap ada uang banyak di brankas itu, tapi saya enggak tahu. Ternyata enggak ada setelah dibuka, mungkin telah dipindahkan, kita enggak tahu," ujarnya.
Kasus ini bermula pada November 2023, ketika Kejati Bali menangkap lima petugas imigrasi Bandara I Gusti Ngurah Rai atas dugaan praktik pungli. Mereka diduga menyalahgunakan layanan fast track, yang seharusnya diperuntukkan bagi kelompok prioritas seperti lansia, ibu hamil, ibu dengan bayi, dan Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Layanan fast track sendiri adalah fasilitas yang mempercepat proses pemeriksaan keimigrasian bagi penumpang yang memenuhi kriteria prioritas. Namun, dalam praktiknya, layanan ini diduga disalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Saat penangkapan, petugas Kejati Bali menyita uang sebesar Rp 100 juta yang diduga merupakan hasil pungli. Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Bali saat itu, Deddy Koerniawan, menyatakan bahwa nominal pungutan untuk layanan fast track mencapai Rp 100 juta hingga Rp 200 juta per bulan.
"Berdasarkan hasil pengecekan langsung, diperoleh fakta terjadinya praktik (pungli) dengan nominal pungutan mencapai Rp 100 - Rp 200 juta per bulan," kata Deddy dalam keterangan persnya.
Setelah melalui proses pengumpulan bukti dan pemeriksaan saksi, Kejati Bali menetapkan HS sebagai tersangka. HS, yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pemeriksaan I Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai, diduga berperan dalam praktik pungli tersebut.
"Saudara HS sebagai Kepala Seksi Pemeriksaan I Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai ditetapkan sebagai tersangka atas perannya dalam tindak pidana sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji," kata Dedy Kurniawan.
Dengan terbitnya SP3, kasus ini secara resmi dihentikan. Meskipun demikian, Kejati Bali mengisyaratkan bahwa penyelidikan dapat dibuka kembali jika ditemukan bukti-bukti baru yang lebih kuat.
Berikut adalah poin-poin penting dari kasus ini:
- Kejati Bali menghentikan penyelidikan kasus pungli fast track di Bandara Ngurah Rai.
- SP3 diterbitkan karena bukti yang ada tidak cukup kuat.
- Seorang pejabat imigrasi berinisial HS sempat ditetapkan sebagai tersangka.
- Pungli diduga mencapai Rp 100 juta - Rp 200 juta per bulan.
- Kasus ini bermula dari penangkapan lima petugas imigrasi pada November 2023.
- Layanan fast track seharusnya diperuntukkan bagi kelompok prioritas.
- Kejati Bali menyita uang Rp 100 juta saat penangkapan, namun uang tersebut berasal dari rekening pribadi tersangka.