Pernikahan di Hari Pertama Ramadan: Tradisi Jawa Bertemu Bulan Puasa

Pernikahan di Hari Pertama Ramadan: Tradisi Jawa Bertemu Bulan Puasa

Sebuah pernikahan unik yang digelar bertepatan dengan hari pertama Ramadan baru-baru ini menjadi viral di media sosial. Pasangan pengantin, Rifa dan Fita, memilih untuk melangsungkan akad nikah dan resepsi mereka pada tanggal 1 Maret 2025, di Banjarnegara, Jawa Tengah. Keputusan ini bukan tanpa alasan; pernikahan tersebut diselenggarakan sesuai dengan perhitungan weton Jawa, yang secara kebetulan jatuh pada hari pertama bulan suci Ramadan.

Peristiwa ini pertama kali dibagikan oleh Desta Prayoga, penata rias pengantin yang menangani acara tersebut, melalui akun TikTok pribadinya. Unggahan yang menampilkan momen-momen khidmat pernikahan tersebut telah ditonton ratusan ribu kali dan menuai beragam komentar dari warganet. Banyak di antara mereka yang mempertanyakan kesesuaian acara pernikahan dengan tradisi puasa Ramadan, sementara yang lain mengapresiasi keputusan pasangan tersebut untuk tetap menjalankan tradisi Jawa yang diyakini.

Dalam wawancara dengan Wolipop, Prayoga menjelaskan bahwa dirinya telah memberitahukan kepada kedua mempelai tentang bertepatannya hari pernikahan dengan awal Ramadan. Namun, karena perhitungan weton Jawa yang dianggap sebagai hari baik, acara pernikahan tetap dilaksanakan. “Akad nikah dan resepsi pas hari pertama puasa tanggal 1 Maret 2025. Sebenarnya dari awal booking dan wanti-wanti kalau awal puasa itu tanggal 1 Maret tapi karena hitungan hari baiknya (weton Jawa) acara tetap dilaksanakan,” ujar Prayoga. Pasangan tersebut memilih untuk menjalankan prosesi pernikahan dengan adat Solo Muslim.

Menariknya, meskipun acara pernikahan berlangsung di hari pertama puasa, keluarga pengantin dan para tamu tetap menjalankan ibadah puasa. Sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan Ramadan, tidak ada hidangan prasmanan yang disajikan. Sebagai gantinya, para tamu mendapatkan bingkisan dan nasi boks untuk dibawa pulang. Hal ini menunjukkan adanya upaya untuk mengharmoniskan tradisi Jawa dengan tuntunan agama Islam selama bulan Ramadan.

Keunikan pernikahan ini menimbulkan beragam reaksi dari warganet. Beberapa mempertanyakan tradisi hajatan di bulan Ramadan, sementara yang lain mengapresiasi efisiensi biaya karena tidak adanya resepsi besar-besaran. Terlepas dari pro dan kontra, pernikahan Rifa dan Fita ini menjadi bukti bahwa tradisi dan keyakinan dapat diintegrasikan dengan indah, meskipun terkadang memerlukan penyesuaian dan kompromi.

Prayoga menambahkan bahwa ia telah menjelaskan secara detail kepada kliennya mengenai implikasi memilih tanggal tersebut, termasuk konsekuensi dari tidak adanya prasmanan. Ia menekankan bahwa keputusan untuk tetap melangsungkan pernikahan pada hari tersebut sepenuhnya merupakan keputusan keluarga pengantin.

Pernikahan ini pun menjadi contoh bagaimana sebuah keluarga dapat menemukan keseimbangan antara tradisi, keyakinan, dan pertimbangan sosial. Keputusan mereka memicu diskusi yang menarik mengenai adat istiadat Jawa, perencanaan pernikahan, dan bagaimana berbagai aspek kehidupan berdampingan dalam konteks budaya dan keagamaan yang berbeda.

Beberapa komentar warganet yang menarik perhatian:

  • "Setauku dalam hitungan Jawa... bulan puasa gak boleh ada hajatan."
  • "Serius tanya, kalo kayak gini tetep ada prasmanan?"
  • "Gapapa mending gini wkwk, gausah resepsi gede-gedean, mending duitnya pake beli rumah. ?"
  • "Kenapa gak akad aja dulu, resepsinya habis lebaran?"

Peristiwa ini menunjukkan betapa kompleks dan beragamnya budaya Indonesia, di mana tradisi dan modernitas saling berinteraksi dan menciptakan sebuah perpaduan yang unik dan menarik.